Eks Polisi Kupang, Ipda Rudy Soik, Buka Suara Soal Pemecatan Terkait Kasus Mafia BBM

oleh -287 Dilihat

Suara-ntt.com, Kupang-Mantan KBO Satreskrim Polresta Kupang Kota, Ipda Rudy Soik, angkat bicara terkait pemecatan dirinya yang dilakukan oleh Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) melalui Pemberhentian Tidak dengan Hormat (PTDH). Rudy dipecat karena dianggap melanggar prosedur dengan memasang garis polisi di rumah dua warga, Algazali Munandar dan Ahmad Ansar, dalam penyelidikan terkait kasus mafia bahan bakar minyak (BBM) ilegal.

Dalam pernyataannya pada Minggu (13/10/2024), Rudy mengungkapkan bahwa ia merasa ditekan selama proses pemeriksaan, terutama terkait pemasangan garis polisi pada 27 Juni 2024. Menurut Rudy, komisi sidang yang memeriksa kasusnya tidak memberikan kesempatan yang adil untuk menjelaskan secara lengkap rangkaian penyelidikan BBM yang ia lakukan.

“Saya merasa benar-benar ditekan. Komisi sidang hanya fokus pada apa yang saya lakukan pada tanggal 27 Juni, tanpa memperbolehkan saya menjelaskan latar belakang penyelidikan dan pemasangan garis polisi,” kata Rudy.

Lebih lanjut, Rudy juga menjelaskan alasan ketidakhadirannya dalam sidang putusan pada Jumat (11/10/2024). Menurutnya, ia merasa diintimidasi dalam sidang sebelumnya pada Rabu (9/10/2024), yang membuatnya merasa tidak akan mendapatkan keadilan.

Kronologi Penyelidikan BBM

Rudy menguraikan bahwa penyelidikan terhadap mafia BBM dimulai sejak 15 Juni 2024, ketika ia dan timnya melakukan operasi penertiban terhadap penyalahgunaan BBM bersubsidi jenis solar di Kupang. Dalam operasi tersebut, Ahmad Ansar tertangkap basah menggunakan barcode nelayan palsu untuk membeli BBM bersubsidi. Saat ditangkap, Ahmad mencoba menyuap petugas dengan uang sebesar Rp 4 juta, namun gagal.

Dari penyelidikan lebih lanjut, diketahui bahwa Ahmad menimbun BBM tersebut di rumahnya di Fatukoa, Kota Kupang, dan sempat mengirim BBM tersebut kepada Algazali. Kedua lokasi penyimpanan tersebut kemudian dipasangi garis polisi karena tidak memiliki izin resmi untuk menampung BBM.

Selama persidangan, Rudy juga mengungkapkan adanya keterlibatan sejumlah anggota polisi dalam jaringan mafia BBM tersebut. Ia menyebutkan bahwa Algazali pernah memberikan uang sebesar Rp 15 juta kepada seorang Kanit Tipidter di Polda NTT dan memiliki hubungan dengan pihak Kriminal Khusus (Krimsus) Polda NTT. Namun, setiap kali polisi melakukan pengecekan, BBM yang ditimbun selalu hilang dari lokasi karena sudah dijual ke perbatasan Timor Leste.

“Saya hanya menjalankan tugas berdasarkan surat perintah, semua tindakan sudah saya laporkan kepada atasan saya,” tegas Rudy.

Rudy merasa putusan PTDH yang dijatuhkan padanya tidak adil dan menyebut proses persidangan tersebut penuh tekanan serta tidak memberikan ruang bagi dirinya untuk membela diri. Meski demikian, Rudy menyatakan akan mengikuti proses hukum yang berlaku.

“Sebagai warga negara yang taat aturan, saya akan mengikuti proses ini. Namun, PTDH ini adalah hal yang sangat menjijikan bagi saya,” pungkas Rudy. ***