Pendidikan Agama Ikut ‘Suburkan’ Intoleransi di Indonesia

oleh -163 Dilihat

Suara-ntt.com, Kupang-Teolog yang juga Dosen Unkris Satya Wacana Salatiga dan Unkris Artha Wacana Kupang, Pdt. DR. Ebenhaizer I. Nuban Timo, M.A menilai gereja-gereja di Indonesia, termasuk di dalamnya lembaga-lembaga pendidikan Kristen perlu secara serius memperhatikan pendidikan agama Kristen yang bersifat humanis.

“Ini penting karena makin menguatnya sikap intoleransi di antara pemeluk agama yang ada di Indonesia. Menguatnya intoleransi ikut pula disuburkan oleh Pendidikan Agama yang selama ini diajarkan di sekolah, kampus lembaga-lembaga agama dan keluarga-keluarga yang bercorak doktrinal, legalistis dan kecenderungan yang terakhir bercorak premanis,” kritik Pendeta Eben Nuban Timo saat tampil sebagai narasumber dalam kegiatan Bedah dan Peluncuran Buku Pengantar Pendidikan Agama Kristen di Kampus IAKN Kupang, Jumat, (21/01/2022).

Buku Pengantar  Pendidikan Agama Kristen ini merupakan karya DR. Noh Ibrahim Boiliu, M.Th.,M.Pd.,CIQaR dan DR. Harun Y. Natonis, S.Pd., M.Si yang merupakan “anak Timor” yang patut mendapat apresiasi. Kegiatan ini merupakan rangkaian acara dalam rangka memperingati Hari Amal Bhakti (HAB) Kementerian Agama ke-76.

Menurut Pendeta Eben, agama yang seharusnya berfungsi sebagai pemasok energi untuk mengembangkan hidup yang rukun dan ramah, oleh karena pendidikan yang bercorak doktrinal, legalistis, premanis justru berubah menjadi peluru untuk menghancurkan dan membinasakan sesama.

“Debat-debat agama di youtube banyak menyebabkan luka batin dan kemarahan di pihak agama seberang yang kita anggap hal lumrah, sesungguhnya merupakan wujud pencideraan terhadap hakikat agama,” tegasnya.

Dikatakan, hingga kini sekurang-kurangnya ada empat buku Pengantar Pendidikan Agama Kristen untuk pembaca Indonesia dari penerbit Gunung Mulia. Buku pertama adalah dari Homrighausen dan Enklaar berjudul Pendidikan Agama Kristen (edisi terkini tahun2012). Buku kedua dari Antonie Hope. Pendidikan Agama Kristen Kontekstual (2010). Buku ketiga dari Nike Hadinoto-Atmadja (1995).

Penulis buku pertama dan kedua (Homrighausen dan Hope), lanjut Pendeta Eben, bukan orang Indonesia. Homrighausen adalah orang Belanda. Antonie Hope dari Filipina.

“Sudah bisa dibayangkan konteks sosial, budaya dan religius mereka. Pastilah konteks itu mempengaruhi cara mereka memahami Pendidikan Agama Kristen. Dua buku itu sangat bersifat doktrinal dan teoritis. Tetapi pastilah juga sifatnya kontekstual. Hanya konteks yang digumuli bukanlah konteks Indonesia,” ungkapnya.

Sementara itu, penulis buku ketiga, kata Pendeta Eben, Nike Hadinoto – Atmadja adalah perempuan Jawa. Buku itu sendiri adalah disertasi doktor yang ditulis selama berstudi di Theologische Universiteit van de Gereformeerde Kerken di Kampen (1992). Konteks Jawa- Indonesia sangat kuat terendus dalam buku itu.

“Pendidikan Agama dalam keluarga, terutama model keluarga horizontal menjadi minat penulis dalam menggagas dan mendesain konsep Pendidikan Agama Kristen. Sebagai yang berlatar belakang Jawa, aura kejawaan (Kejawen) mewarnai buku itu,” paparnya.

Penulis buku keempat yakni Noh Boiliu dan Harun Natonis sebut Pendeta Eben, adalah orang Indonesia dari etnis Timor, asli made in Timor secara khusus suku Meto di Timor Tengah Selatan (TTS).

“Tentu saja kita berharap ada dua aura atau aroma yang menyemarakkan taman bunga Pengajaran Agama Kristen, yakni ke-Indonesiaan dan ke-flobamorata-an.

Dengan hadirnya buku PAK ke-4 yang ditulis oleh orang Indonesia asal etnis NTT nilai-nilai keindonesiaan dan cita-rasa Flobamorata mustinya menyemarakkan pemahaman tentang PAK, baik dari segi hakikat, dasar, sumber pembelajaran, fungsi, materi, dan pelaksanaan pengajarannya,” jelas mantan Ketua Sinode GMIT.

Harus Berani Menulis

Di tempat yang sama, Pdt. DR. Mesakh AP Dethan, M.Th mengatakan, dengan mengutip pemikiran Jhon Dewey para penulis menekankan perlunya pendekatan konteks masyarakat dalam Pendidikan Agama Kristen.

“Perubahan sosial masyarakat menjadi fokus, sebab bila masyarakat mengalami perubahan maka konteks pendidikan juga harus disesuaikan. Pendidikan Agama Kristen harus mengamati dan memahami dengan baik perubahan yang terjadi di masyarakat sehingga dapat memberikan sumbangsih yang bermanfaat,” ucap Pendeta Mesakh.

Pendeta Mesakh berpesan kepada Civitas Akademika IAKN Kupang untuk tidak takut menulis. “Karena dengan menulis kita mengungkapkan siapa diri kita dan keberanian kita. Meski mungkin ada kelemahan di sana sini. Hal ini masih lebih baik dari mereka yang takut menulis; karena mereka akan selalu merasa benar dan sempurna serta tidak pernah salah.Ini hanya ada dalam pikiran mereka belaka. Bagaimana kita bisa tahu kita benar atau salah jika kita tidak pernah menuangkan dalam tulisan dan menerima masukan berharga dari orang lain ?” ucap Pendeta Mesakh, balik bertanya.

Dia menambahkan, “Karya ini bisa menjadi motivasi sekaligus cambuk bagi para dosen IAKN Kupang yang lain untuk juga menulis dan menghasilkan buku demi peningkatan kualitas dan pengembangan IAKN ke depan.”
Sedangkan Pdt. DR. Lintje H. Pellu, M.Si menilai, lima bab di dalam buku Pengantar Pendidikan Agama Kristen ada keterkaitan satu dengan yang lainnya. “Konsep yang digunakan sangat dekat dengan konsep yang diperkenalkan Thomas Groome yang kental dengan filsafat eksistensial,” tandas alumnus The Australian National University Canberra Australia.

Mantan Dekan FKIP UKAW Kupang ini menuturkan, ada pendekatan etimologis tentang education.

“Sekolah merupakan miniatur kehidupan sosial di mana ada relasi memanusiakan peserta didik. Konsep Thomas Groome begitu kuat dengan konsep yang dikembangkan oleh para penulis. Tanpa filsafat pendidikan terasa kering. Tanpa pendidikan filsafat menjadi mandul,” tandasnya.

Kegiatan bedah dan peluncuran Buku Pengantar Pendidikan Agama Kristen diikuti ratusan peserta yang berasal dari para pejabat, dosen, para pegawai, mahasiswa S2 dan S3 IAKN Kupang serta pihak penerbit BPK Gunung Mulia Kupang. (very guru/mahasiswa pascasarjana IAKN Kupang)