Suara-ntt.com, Kupang-Pemerintah Provinsi NTT mempunyai Satu Data Indonesia (SDI) dan itu sudah terintegrasi dari pemerintah pusat sampai pemerintah kabupaten/kota.
“Tugas utama pemerintah Provinsi NTT adalah buat forum satu data untuk provinsi nanti turun sampai kabupaten/kota. Melalui forum satu data sehingga ada wali data dan produsen data itu harus sistematis ke bawah. Misalkan data diperlukan dan dikeluarkan dari Bapppelitbangda Provinsi soal RPJMD, indikator makro, data indikator dan lain sebagainya. Data itu keluar harus diverifikasi oleh kepala dari tahapan paling bawah sehingga data itu dari produsen data sudah valid,”kata Kepala Pelaksana Tugas (Plt) Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Alfons Theodorus kepada wartawan di ruang kerjanya pada Jumat, 17 Pebruari 2023.
Alfons mengatakan, dalam forum data itu ada dua instansi yang mempunyai peranan penting yakni Dinas Kominfo dan Bappelitbangda. Dan Bappelitbangda itu merupakan kepala atau pemimpinnya.
Bappelitbangda ditugaskan untuk memetakan data secara giospasial atau berdasarkan peta. Kemudian teman-teman di Dinas Kominfo melahirkan data-data yang sifatnya numerik bisa dalam bentuk tabel, grafik, CAT dan sebagainya. Sementara data dalam bentuk peta itu menjadi tugas dari Bappelitbangda untuk merilisnya.
“Jadi forum data itu akan menerangkan tugas-tugas pokok dan fungsinya. Instrumen tersebut dikendalikan oleh pemerintah pusat. Karena gioportal itu dikeluarkan oleh pusat dan kita hanya input dari situ semua sehingga satu data Indonesia itu menjadi kuat dari pusat sampai ke daerah,”ungkapnya.
Dijelaskan, saat ini pihak Pemerintah Provinsi NTT lagi merancang giospasial data integrasi dengan kemiskinan dan stunting. Dan data bisa dipublish sebagai patokan untuk mendata suatu daerah atau wilayah dengan menggunakan data yang dikompilasi dengan peta.
“Kita sekarang lagi merancang giospasial data integrasi dengan kemiskinan dan stunting. Dari data itu kita bisa publish dan sebagai patokan untuk mendata suatu wilayah atau daerah maka kita akan memperoleh data soal jumlah penduduk, jumlah orang miskin dan stunting yang akan dikompilasi. Dan itu semua menggunakan data yang akan dikompilasi dengan peta,”jelasnya.
Dia paparkan, berkaitan dengan indikator kemiskinan ekstrim atau stunting dimana saat ini pihaknya menghadapi dua persoalan karena data stunting itu dikeluarkan oleh Survey Status Gizi Indonesia (SSGI) dan ada juga data yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi dengan Elektronik Pusat Pencatatan Gizi Berbasis Masyarakat (EPPGBM).
“Dan itu yang dikeluarkan oleh kita dan dibolehkan secara regulasi. Sementara SSGI boleh melakukan data by populasi berdasarkan hasil survey. Tapi EPPGBM ini diterima oleh pemerintah tak kalah melakukan timbangan itu melebihi 80 persen. Saat ini kita sudah 98 persen atau sekitar 422 ribu lebih mendapat data ternyata di NTT angka stuntingnya 77.338 orang atau 17,71 persen,”paparnya.
Kemudian kata dia data kemiskinan ekstrem itu dikeluarkan oleh Tim Nasional Percepatan Pembangunan Nasional (TNP2N) dari pemerintah pusat yakni Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Dan datanya keluar by name by address sekitar 6,52 persen dari 6,48 persen atau naik sekitar 0,12 persen untuk NTT.
Rilis by name by address itu pemerintah provinsi juga melakukan koordinasi secara baik dengan Badan Pusat Statistik (BPS). Dan saat ini BPS sedang melakukan sensus untuk NTT dan akan berakhir di bulan Juni 2023. Dan sensus itu akan keluar nama dan alamat.
Jadi sektor pendataan dan skema-skema yang dibangun oleh lembaga-lembaga yang menghasilkan data sudah pasti BPS mempunyai peranan yang kuat. Karena sebagai Badan Pusat Statistik tentu mereka mempunyai sistem data yang sangat kuat sampai ke daerah. Dan menjadi instrumen paling kuat.
“Kita dengan adanya satu data Indonesia ini akan integrasi betul sehingga orang tidak kebingungan soal data,”bebernya.
Alfons menyampaikan indikator data tidak ada bedanya karena stunting harus memenuhi sumber daya manusia yang melakukan timbangan dari tenaga kesehatan. Dimana peralatan antropometri (timbangan) harus siap di setiap puskesmas.
“Karena sudah ada alat antropometrinya sehingga sekarang ini kita sudah mencapai angka 422 ribu maka kita tahu data 77,338 orang stunting karena alatnya sudah ada di setiap daerah,”ucapnya.
Untuk diketahui bahwa persoalan EPPGBM itu bukan hanya terjadi di NTT tetapi provinsi lain juga mengalami hal yang sama bahkan ada angkanya lebih dari SSGI dan EPPGBM.
“Dalam ilmu statistik jika melakukan survey ada keterwakilan dari desa yang ditinjau dari jumlah stuntingnya. Keterwakilan itu bisa menjawab jumlah yang ada di lokasi tersebut. Tapi jika melakukan dengan by name by address maka manusia yang kita dapat. Karena stunting itu tingginya tidak sesuai dengan umurnya. Jadi stunting itu ada dua komponen yang menjadi dominasi yakni wasting (gizi buruk/kurus) dan underwent (kecil badannya). Ada dua komponen itu yang menyebabkan stunting. Namun perlu diingat bahwa mendorong stunting 30 persen dari spesifik dan 70 persen dari sensitif. Dan sensitif ini dengan melibatkan stackhloder yang lain termasuk sektor air bersih dari Dinas PUPR,”pungkasnya.
Lebih lanjut kata dia, saat ini pemerintah pusat mengeluarkan sistem informasi pemerintah daerah (SIPD) se-Indonesia. Itu menyangkut soal data-data di daerah termasuk dengan data program Pemprov masuk dalam sistem tersebut.
“Dan sekarang ini program sudah berjalan dengan melakukan bimtek. Ini sudah dilakukan sebelumnya dan sekarang lagi penyempunaan. Kemudian data apa saja yang dibutuhkan oleh pemerintah karena sudah terintegrasi dengan Kemendagri, KPK, dan BPK sehingga kita tidak bisa mempunyai proyek siluman,”tandasnya. (Hiro Tuames)