Suara-ntt.com, Kupang-Dari Desa Sadi, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT), mengalir darah dua orang tokoh yang sukses mengharumkan nama NTT di kancah nasional. Kedua tokoh tersebut ialah Mayor Jendral (Mayjen) Tentara Nasional Indonesia (TNI) bernama Gabriel Lema dan seorang politisi nasional bernama Yohanis Fransiskus Lema atau akrab disapa Ansy Lema.
Gabriel Lema dan Ansy Lema adalah paman dan keponakan kandung keturunan Belu yang sukses meniti karir mereka di bidang militer dan politik. Gabriel Lema merupakan adik kandung dari ayah Ansy Lema, yaitu Raymundus Lema yang merupakan Mantan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi NTT selama tiga periode.
Lahir di Hokeng, Wulanggitang, Flores Timur, pada 24 Maret 1968, darah keturunan Belu dalam diri Gabriel Lema mengalir dari ibu kandungnya, Helena Bui Teu Lema yang adalah perempuan berdarah Belu asli dari Desa Sadi, Kecamatan Tasifeto Timur. Demikian juga dengan Ansy Lema, pria kelahiran Kota Kupang pada tanggal 27 Maret 1976 ini, juga memiliki darah keturunan Belu dari Helena Bui Teu Lema, nenek kandung dari Politisi PDI Perjuangan tersebut.
Sementara, suami dari Nenek Helena atau kakek dari Ansy Lema adalah seorang polisi kelahiran Wolojita, Ende bernama Yohanes Lema. Kakek Yohanes pernah menjadi Kapolsek di Boru-Kemiri Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur. Karena profesinya sebagai seorang polisi, Kakek Yohanes dan Nenek Helena sering berpindah-pindah tempat tinggal.
“Nenek Len, panggilan saya untuk Nenek Helena, pernah tinggal di Sumba Timur, pernah juga di Flores Timur. Rumah Nenek Len di Kupang ada di Kampung Baru, Oetete. Saya dari kecil sering tidur di Kampung Baru,” ujar Ansy Lema.
Dirinya menceritakan, Om Gaby, panggilan akrab Ansy Lema kepada Gabriel Lema, adalah sosok yang pintar dan sejak kecil selalu menjadi juara di sekolah, serta pernah menjadi Ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) di SMA Katolik Giovanni Kupang. Pada tahun 1988, Om Gaby masuk ke akademi militer (akmil) dan tahun 1990 menyelesaikan sekolah akmil dengan pangkat letnan dua.
“Di sini ada kisah yang menarik. Kakek Yohanes ketika meninggal, ia meninggal dengan pangkat Pembantu Letnan Satu (Peltu). Lalu, ketika Om Gaby tamat dari akmil, keluar dengan pangkat letnan dua. Om Gaby melanjutkan pangkat bapaknya yang berhenti di Peltu,” terang Mantan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI ini.
Anak dan cucu Helena Bui Teu Lema ini merupakan orang keturunan Belu dari Suku Kemak, etnis Raigio. Raigio sendiri memiliki arti “Tanah yang kokoh, yang tak bisa digoyahkan”. Spirit inilah yang menjadikan Gabriel Lema dan Ansy Lema menjadi dua putra daerah NTT yang berpegang teguh pada integritas diri serta konsisten meniti karir.
Jabatan karir paman dan keponakan ini telah dirajut cukup lama sebelum mereka sampai pada titik ini. Sekitar 30 tahun Gabriel Lema dan Ansy Lema merajut karir mereka sebelum menjadi seorang Mayor Jenderal TNI dan politisi nasional.
Sebelum menjadi salah satu dari 33 Perwira Tinggi (Pati) TNI, abituren akmil cabang infanteri Gabriel Lema memulai karir militernya pada 33 tahun silam. Saat itu, pria berumur 56 tahun ini masih berpangkat Letnan Dua, menjabat sebagai Danton II Yonif 407/PK (1991-1994). Di penghujung tahun 1994, Gabriel Lema naik pangkat menjadi Letnan Satu dan dipercayakan menjadi Dankijar Rindam IV/Diponegoro (1994-1996).
Dari Letnan Satu, ia naik pangkat menjadi kapten dan menduduki sejumlah jabatan seperti Danklas Sesarcab Pusdikif (1996-1997), Dankipan B Yonif 741/SBW (1998), dan Dankipan A Yonif 741/SBW (1999). Berbagai proses panjang ia lewati hingga akhirnya mendapat tugas baru menjadi Ir Kodiklatad pada 2021 hingga 2022, yang sekaligus menambahkan satu bintang di pundaknya menjadi Mayor Jenderal (Mayjen).
Sementara itu, Ansy Lema meniti karirnya dari jalanan ke Senayan. Pria kelahiran Kota Kupang itu memulai perjalanannya sebagai seorang aktivis 98 yang memimpin perjuangan rakyat Indonesia untuk menumbangkan rezim totaliter order baru.
Dari dunia aktivis, anak laki-laki sulung dari Raymundus Lema ini menjadi seorang akademisi. Ia menjadi dosen di beberapa kampus di Indonesia, seperti Universitas Nasional, Universitas Paramadina, dan Universitas Budi Luhur. Pria berusia 48 tahun itu juga pernah menjadi seorang penulis dan penyiar berita di salah satu stasiun tv nasional.
Anggota Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) itu melanjutkan langkahnya menjadi seorang Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Periode 2019-2024 dari Daerah Pemilihan (Dapil) NTT II, lewat partai yang memiliki sejarah panjang di Indonesia, yaitu PDI Perjuangan. Pada Pemilihan Legislatif (pileg) 14 Februari 2024, Ansy Lema kembali bertarung dalam kontestasi politik dan kembali dipercayai rakyat sebagai pemilik satu dari tujuh kursi DPR RI di Dapil NTT II.
“Jadi, apabila saya sampai pada titik ini, ini merupakan buah dari perjalanan panjang. Saya berjuang dari 25 tahun lalu, meniti anak tangga hingga saat ini menjadi Calon Gubernur NTT. Begitu pula dengan Om Gaby. Om Gaby sedari kecil adalah pribadi yang pintar, disiplin, aktif berorganisasi. Ia juga meniti karir dari bawah hingga menjadi seorang Mayor Jenderal,” pungkas Mantan Juru Bicara Ahok ini.
Namun, meskipun kembali terpilih menjadi wakil rakyat, Ansy Lema memutuskan untuk merelakan jabatan politiknya di Senayan dan pulang ke tanah flobamora. Baginya, NTT membutuhkan seorang pemimpin yang bisa bekerja dari hati untuk mengeluarkan provinsi dengan jumlah penduduk 5,6 juta jiwa ini dari jerat kemiskinan.
“Beta Cinta NTT menjadi panggilan saya untuk pulang. Saya, seorang putra asli Belu, akan berjuang untuk bisa membangun dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat NTT, yang mayoritas bekerja sebagai petani, peternak, dan nelayan,” tutupnya.***