Suara-ntt.com, Kupang-Seminar ekumene bertajuk “Praksis berteologi dalam Aneka Perspektif di Era Disrupsi” berlangsung meriah di Hotel Cahaya Bapa Kupang. Acara yang dihadiri berbagai kalangan lintas agama ini menghadirkan sejumlah narasumber terkemuka, di antaranya Pater Drs. Gregor Neonbasu, SVD, PhD, alumni The Australian National University dan Ketua Gregor Anthropological Group (GAG); Yohanis Landu Praing, SE, MM, Pendeta Dr. Lintje Pellu, M.Si, serta Pendeta Dr. Ruben Nesimnasi, M.Th.
Seminar ini bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan antara antropologi dan teologi dalam pengalaman hidup beragama masyarakat NTT, khususnya di tengah tantangan era disrupsi. Diskusi menyoroti refleksi iman dalam konteks budaya lokal, memadukan unsur tradisi, kebiasaan, dan pemahaman keagamaan dalam satu skema yang harmonis.
Teologi sebagai Refleksi Iman
Dalam paparan pembukanya, Pater Gregor Neonbasu menjelaskan bahwa teologi adalah refleksi atas iman, sebuah respons manusia terhadap tawaran keselamatan dari Allah. Ia menekankan bahwa Allah yang terlibat dalam sejarah manusia turut membentuk pola keberagamaan yang dinamis. “Pengalaman hidup beragama harus ditempatkan sebagai pusat refleksi teologi,” ujar Pater Gregor.
Beliau juga mengupas pentingnya sketsa dan skema dalam memahami budaya masyarakat. Ada tujuh unsur kebudayaan yang ia angkat, mulai dari sistem religi, organisasi sosial, hingga pola teknologi. “Semua unsur ini tidak hanya mencerminkan keunikan masyarakat NTT, tetapi juga menjadi ‘darah dan daging’ bagi teologi itu sendiri,” tambahnya.
Pengalaman Hidup Beragama di NTT
Diskusi juga menyoroti pengalaman keagamaan masyarakat NTT yang kaya akan narasi spiritual lokal. Pater Gregor menyebutnya sebagai “realitas ilahi yang sungguh-sungguh hadir.” Narasi lokal tersebut, meskipun kerap terserap dalam bingkai Kekristenan, tetap memiliki nilai orisinal yang tak boleh diabaikan.
Beberapa pendekatan disoroti, termasuk deskripsi kolektif dan individual dalam memahami pengalaman keagamaan. Pendekatan ini memungkinkan pengakuan atas keunikan masing-masing pengalaman religius, baik dalam konteks individu maupun komunal.
Refleksi Kritis
Seminar ini juga menggarisbawahi pentingnya antropologi teologi kontekstual yang menempatkan tradisi lokal dalam dialog dengan ajaran teologis universal. Pendeta Dr. Ruben Nesimnasi mengingatkan bahwa “pengalaman keagamaan, sebagaimana ditegaskan Paul Tillich, berada dalam pengalaman umum manusia. Ia dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan.”
Dalam sesi tanya jawab, peserta seminar menyampaikan apresiasi atas pendekatan yang mengintegrasikan tradisi lokal dengan iman Kristiani. Seorang peserta menuturkan, “Masyarakat NTT memiliki kekayaan budaya dan spiritual yang mendalam. Seminar ini membantu kami memahami pentingnya menjaga harmoni antara iman dan tradisi lokal.”
Seminar ekumene ini memberikan wawasan mendalam tentang pentingnya antropologi teologi dalam memahami pengalaman hidup beragama masyarakat NTT. Para narasumber sepakat bahwa dialog antara tradisi lokal dan ajaran agama perlu terus dipupuk untuk menghadapi tantangan zaman.
Sebagaimana ditegaskan dalam seminar ini, masyarakat NTT memiliki narasi spiritual yang kaya dan unik, yang tidak hanya menjadi aset budaya tetapi juga fondasi penting dalam penghayatan iman. Seminar ini menjadi bukti nyata bahwa teologi yang berakar pada konteks budaya lokal dapat menjadi solusi bagi tantangan kehidupan beragama di era modern. ***