Oleh : Verry Guru
(Kasubag Kepegawaian dan Umum BPPD Provinsi NTT)
Pandemi COVID-19 belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Banyak nyawa telah melayang akibat ketidaktaatan dan ketidakpatuhan umat manusia terhadap protokol kesehatan yakni memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak dengan orang sakit atau yang sedang terpapar virus corona. Bahkan seiring berjalannya waktu dan semakin canggihnya kemajuan; konon virus ini telah mengalami mutasi dan muncul varian baru. Meski telah divaksin namun tetap harus waspada dan taat protokol kesehatan.
Tanpa disadari sebenarnya COVID-19 telah mengubah seluruh tatanan peri kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Termasuk mengubah atmosfir dan tata kelola serta spirit kerja Aparatur Sipil Negara (ASN) termasuk para pejabat di daerah ini. Ada ASN yang bekerja (dari) di kantor ada pula yang bekerja dari rumah atau work from home. Semua ini dimaksudkan agar ASN dan para pejabat tersebut tetap semangat dalam bekerja. Bekerja melayani masyarakat atau publik yang merupakan ‘roh’ nya sebagai sang abdi negara. Jika seorang ASN berprinsip bahwa pekerjaannya sebagai aparatur semata-mata hanya untuk mencari penghasilan atau gaji maka makna sebagai sang ASN telah kehilangan ’roh’ nya sebagai seorang abdi negara. Sebab bekerja untuk melayani merupakan ’roh’ nya seorang abdi negara.
Lalu bagaimana fakta yang ada di tengah masyarakat ? Realitas sosial yang terjadi dalam kehidupan pelayanan keseharian kita menunjukkan bahwa musuh terbesar yang menggerogoti ketulusan hati dan moral pekerja modern termasuk sang ASN dan para pejabat adalah individualisme dan egoisme. Kharakteristik ini menjadi fakta sosial yang turut mewarnai aktivitas manusia, kapan dan dimana saja, karena tuntutan kebutuhan yang sangat kompleks dan bervariasi. Hal ini terjadi ketika manusia berada dalam situasi kebingungan untuk menentukan pilihan yang tepat, efektif dan efisien.
Dalam setiap kondisi ambigu (tak menentu), manusia rentan terhadap godaan sehingga ketika diperhadapkan dengan tawaran-tawaran kenikmatan yang menggiurkan, sangat mungkin manusia terbuai, terutama ketika sedang lengah dalam prinsip pilihan, maka sejak saat itu pula, manusia terpancing untuk mengutamakan kepentingan pribadi dalam proses pengarus-utamaan spiritualitas kerjanya. Dampak ikutan yang terjadi adalah aspek hubungan psikologis yang kompak dengan sesama ASN maupun dalam lingkungan kerja terpaksa digusur dan tergusur bahkan tergerus dari opsi prioritas yang sesungguhnya.
Banyak isu yang menarik di republik atau di daerah ini yang menuturkan tentang ketidak-harmonisan hubungan hirarkis atau struktural dalam sebuah instansi pemerintah. Situasi tersebut disebabkan oleh adanya tendensi para pimpinan yang mengedepankan roh sebagai ‘kaum kapitalis’ untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya di satu pihak, sementara di pihak lain, para ASN merasa tertindas karena tidak adanya keseimbangan antara apa yang harus dikerjakan sesuai tugas, pokok dan fungsi (tupoksi) dengan volume pekerjaan yang mereka lakukan/kerjakan.
Di tikungan yang lain; ada pula rumor yang berkembang bahwa banyak pengusaha di negeri dan daerah NTT ini gemar menyandang stereotipe borjuis komprador karena memiliki bakat untuk melekat ke atas khususnya ke kelompok pembuat kebijakan; dalam rangka mendapat berbagai kemudahan demi penjatahan proyek untuk kemajuan usahanya. Sayangnya hubungan ke bawah; termasuk dengan para ASN sangat memprihatinkan, karena kepentingan kesejahteraan mereka kurang mendapat perhatian. Padahal justru merekalah yang menentukan arah, serta maju atau mundurnya sebuah institusi pemerintah. Akibatnya, tidak jarang terjadi konflik dan benturan kepentingan dalam suatu instansi pemerintah sebagai luapan rasa ketidak-puasan atas tindakan ketidak-adilan yang terjadi.
Perlakuan yang tidak adil tersebut nyaris juga terjadi di semua organisasi modern, termasuk di lingkungan birokrasi pemerintahan. Dalam wadah-wadah tersebut, tidak jarang kita dengar adanya virus dominasi, hegemoni dan determinasi secara beragam sesuai kepentingan organisasi. Misalnya, dengan alasan ’tugas terbagai habis’ maka kebanyakan birokrat pada level pimpinan tidak kebagian tugas, kecuali di bidang pengawasan dan tanggung jawab ke luar atau ke atasan yang lebih tinggi.
Ironisnya, dalam hal kesejahteraan, seorang pimpinan sudah pasti lebih banyak menikmati keberuntungan dari pada seorang bawahan.
Tradisi seperti inilah yang pada akhirnya mempengaruhi spiritualitas kerja bawahan, sekaligus menjadi motivasi negatif bagi pihak tertentu untuk berjuang dengan segala cara demi memperoleh jabatan, tanpa banyak berusaha untuk meningkatkan kualitas diri dan keteladanan yang bisa dianut oleh bawahan. Banyak pejabat yang ’bertitel M.Si’ yang tidak lain adalah akronim dari ’masih seperti itu.” Artinya, mindset, mental dan cara-cara dia bekerja belum berubah. Perubahan atau transformasi menurut pejabat itu hanyalah isu murahan yang sekadar didengungkan untuk menarik dan menyenangkan hati publik atau masyarakat.
Distorsi lain yang terjadi disebabkan oleh kebijakan promosi jabatan yang didasarkan atas hukum kedekatan serta hubungan geneologis. Praktek nepotisme dan koncoisme seperti ini menimbulkan kecemburuan di kalangan staf, terlebih jika ada pihak yang merasa lebih senior (terutama dari aspek masa kerja dan kepangkatan) dan jauh lebih cakap dari pada pejabat yang dipromosikan itu. Dengan demikian, semangat kerja dari staf yang merasa dikorbankan cenderung menurun seiring dengan pengalaman perlakuan yang seman-mena dan tidak adil tersebut.
Di titik ini tentunya kita semua sependapat bahwa pemimpin ada untuk melayani bukan dilayani, mendorong pengikutinya untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya bukan mengembat potensi sumber daya aparatur yang potensial dengan gaya dan narasi yang bernada ancaman. Stop cara-cara kerja yang manipulatif-fiktif, senang untuk dilayani dan lain sebagainya; agar performance sang ASN dan pejabat yang ada di daerah ini tidak dipandang dengan sebelah mata oleh masyarakat yang dilayaninya.
Kita semua tentu berharap di masa kepemimpinan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat dan Wakil Gubernur Josef A. Nae Soi, tidak ada lagi ASN atau pejabat yang dengan bangganya sambil tepuk dada dan berkata : ”anjing menggonggong kafila tetap berlalu.” Kita semua membutuhkan dan mendambakan spiritualitas kerja ASN termasuk sang pejabat yang tulus dan ikhlas dalam melayani masyarakat. Konsisten antara apa yang dipikirkan, diucapkan dan dipraktekkan. Kita tidak butuh ASN dan pejabat yang pagi bicara lain dan sore lain bicaranya. Karena integritas kita diukur dari kinerja, komitmen dan kosistensi dalam berpikir, bertutur, dan bersikap. Jika tidak maka visi NTT Bangkit dalam mewujudkan masyarakat sejahtera hanyalah slogan indah yang menghiasi ruang-ruang hampa memori publik di ini daerah.****