Site icon Suara NTT

BABS jadi Penyumbang Terbesar Stunting di NTT

Suara-ntt.com, Kupang-Buang air besar sembarangan (BABS) menjadi penyumbang terbesar kasus stunting di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Pasalnya kasus stunting bukan hanya soal kekurangan gizi melainkan buang air besar sembarangan.

“Bagi saya penyumbang terbesar stunting bukan soal gizi karena selama ini orang memahami kalau stunting itu diakibatkan hanya karena kurang gizi. Tapi perlu diingat bahwa penyumbang stunting itu salah satu pemicunya adalah buang air besar sembarangan atau BABS”.

“Dan itu merupakan salah satu pilar Sanitasi Total Berbasis Masyarakat atau STBM sehingga semua pihak harus melakukan hal-hal cerdas kepada masyarakat terkait lima pilar STBM itu,”kata Anggota DPRD Provinsi NTT, Ana Waha Kolin kepada wartawan di ruang Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Provinsi NTT pada Senin, 14 Juni 2021.

Ana Kolin mengatakan, penanganan kasus stunting di NTT tidak boleh parsial tetapi harus integrasi. Artinya penanganannya tidak boleh hanya dilakukan oleh Dinas Kesehatan sebagai leading sektor tetapi semua instansi terkait.

Dikatakan, ada beberapa dinas yang menangani stunting seperti Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A), Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD), Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta Tim Penggerak PKK Provinsi NTT.

“Kalau bicara soal stunting dari sisi gizinya maka saya tidak setuju. Karena stunting harus dilihat secara integrasi dari semua segi. Waktu rapat dengar pendapat (RDP) dengan Dinas Kesehatan saya bilang harus kerjasama dan sama-sama kerja dari semua bidang yang ada di dinas itu dan akan mempermudah dalam meminimalisir stunting itu sendiri,”ungkapnya.

Selain itu kata dia, kelompok kerja (Pokja) stunting yang dibentuk Pemerintah Provinsi NTT diharapkan bisa melihat persoalan ini secara holistik.

“Mungkin selama ini dilakukan secara holistik tapi soal koordinasi mudah diucapkan tapi sulit dilakukan,”ujar anggota Komisi V DPRD Provinsi NTT ini.

Diharapkan masing-masing kabupaten/kota dengan ciri khasnya dalam penanganan stunting di NTT. Misalkan di Kabupaten Flores Timur (Flotim) dengan program ‘Gerobak Cinta’ dimana penyediaan makanan bergizi bagi anak-anak penderita stunting yang diglontorkan oleh Pemda Flotim dalam hal ini Tim Penggerak PKK ada di setiap desa.

“Yang paling penting sekarang adalah melihat itu sebagai sebuah strategi dalam meminimalisir kasus stunting. Tapi harus diingat bahwa sanitasi itu juga penunjang stunting. Dan tidak bisa kita omong setengah-setangah soal stunting. Kalau kita omong kurang gizi dan air tidak ada juga sama,”beber politisi asal PKB Provinsi NTT ini.

Lebih lanjut kata dia, dalam kaitan dengan dana desa (DD) seharusnya sudah terinput dalam APBDes sehingga ketika ada musrembangdes harus tersentuh dengan baik dalam APBDes itu dan direncanakan secara matang.

“Saya kira itu yang diinginkan oleh Kementerian Desa dan dituangkan dalam APBDes itu. Dan saya kira orang-orang di desa sangat giat dalam pananganan stunting karena ada program Dasawisma dan Kader Posyandu. Mereka sudah sangat terlatih dan mungkin selama ini anggaran untuk mensupport mereka sangat kurang,”ucapnya.

Dia beragumen bahwa sumber daya manusia (SDM) di desa tidak diragukan dalam membantu penanganan stunting. Karena selama ini kader posyandu dan dasawisma bekerja secara sukarela dan gajinya hanya senyium saja karena tidak ada gaji atau insentif. Dan ini juga boleh dituangkan dalam RAPBDes untuk bisa mensupport kader desa tersebut.

“Karena mereka meninggalkan rumah dan rutinitas untuk menangani persoalan stunting di desa sehingga kalau bisa insentif mereka bisa dikasih,”pungkasnya. (Hiro Tuames)

Exit mobile version