Banyak Kepala Sekolah Swasta SMA di NTT Belum memiliki NUPTK

oleh -202 Dilihat

Suara-ntt.com, Kupang-Hingga saat ini, di  NTT masih banyak kepala sekolah swasta dari SMA/SMK dan SLB yang belum memiliki
Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK). Padahal mengurus NUPTK itu sangat mudah. Karena itu merupakan Nomor Induk bagi seorang Pendidik atau Tenaga Kependidikan.

“Saya mohon bantuan kepada kepala sekolah dan guru-guru swasta untuk mengurus UNPTK,” kata Kepala Bidang Guru dan Tenaga Kependidikan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT, Adelino Soares ketika membawa materi tentang kebijakan peningkatan mutu pendidikan NTT dan secara khusus dukungan untuk memperkuat pendidikan swasta di NTT di Aula Kantor DPD RI Perwakilan NTT, Kamis (7/11/19).

Adelino mengatakan, jumlah guru di NTT saat ini berjumlah sebanyak 92.448 guru. Untuk tingkat provinsi pihaknya mengurus guru sebanyak 19 ribu lebih ditambah 26.168 guru dan tenaga kependidikan. Dan masih banyak guru yang belum mengikuti profesionalisme peningkatan kompetensi guru. Kemudian banyak kepala sekolah juga yang belum mengikuti penguatan kepala sekolah dan belum lagi pengawas sekolah yang terbatas.

“Jadi penanganan pendidikan di tahun 2019  dan ke depan yaitu kita penanganannya dari hulu bukan dari hilir. Oleh karena itu kita akan beri porsi besar untuk program pendidikan profesi guru (PPG) yang selama ini kita alokasikan 40 orang kita tambah jadi 200 orang. Dan tahun depan kita tambah menjadi 350 orang,” ungkapnya.

Dikatakan, saat ini ada kegiatan penguatan kepala sekolah dan dalam implementasinya akan melibatkan semua satuan pendidikan. Tidak ada dikatomi antara sekolah negeri dan sekolah swasta. Untuk insentif baik itu guru komite di sekolah negeri maupun guru tidak tetap di yayasan juga menerima insentif yang sama dari pemerintah.

“Untuk penguatan kepala sekolah biasanya kalau 200 peserta maka sekolah swasta hanya mendapat kuota enam orang tapi sekarang tidak seperti itu. Kita beri porsi 40 persen untuk sekolah swasta dan 60 persen untuk sekolah negeri. Dan dari kementerian pendidikan masih mengamanatkan seperti itu. Namun kita sudah memberi avirmasi,” pintanya.

Lebih lanjut kata dia, banyak sekolah di NTT saat ini yang belum diakreditasi. Bukan karena tidak diakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN) tetapi karena belum siap bahkan banyak sekolah yang belum bisa.

Urus Pendidikan Ibarat Urai Benang Kusut

Pada sisi lain Adelino Soares mengatakan, mengurus pendidikan ibarat mengurai benang kusut. Saat diurai akan semakin kusut bahkan benangnya bisa putus.

“Bicara tentang pendidikan sesungguh kita sedang berbicara tentang rasa keadilan bagi 1,3 juta anak NTT mulai dari PAUD, SD, SMP SMA/ dan SLB termasuk anak-anak berkebutuhan khusus atau dishabitas.
Ini menjadi tanggung jawab pemerintah, masyarakat, dunia usaha dan keluarga. Karena pendidikan berawal dari keluarga,”ujarnya.

Dikatakan lembaga-lembaga swasta menjadi pelopor atas hak-hak anak. Mereka sudah hadir  sebelum bangsa dan negara ini mengalami kemerdekaan. Sampai dengan saat ini, lembaga-lembaga pendidikan swasta menjadi pendongkrak mutu pendidikan di NTT.

“Kita berbicara soal mutu pendidikan tidak hanya sekedar bicara tentang kemampuan akademik tetapi bagaimana krakter anak dibentuk,” pintanya.

Dia menjelaskan, locus perhitungan angka partisipasi putus sekolah yaitu pada kelompok umur 3 sampai 6 tahun, 7 sampai 12 tahun, 13 sampai 15 tahun dan 16 sampai 18 tahun bahkan sampai di perguruan tinggi.

Angka perhitungan partisapasi sekolah menunjukan bahwa kelompok usia 3 sampai 6 tahun tergolong rendah di Sekolah Dasar dan rata-rata di provinsi 30,68 persen. Lalu diusia 15 sampai 18 tahun itu juga tergolong rendah dengan rata-rata provinsi sebesar 78,83 persen.

Lebih lanjut kata dia, untuk anak SMP, SMA dan SMK istilah anak putus  adalah anak meninggalkan sekolah lebih awal. Karena mereka sudah mempunyai kemampuan dasar  literasi dan lain sebagainya. (Hiro Tuames)