Suara-ntt com, So’e-Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Benain Noelmina NTT bersama Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelolaan Hutan (UPT KPH) Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) terus mendukung dan melakukan pendampingan kepada masyarakat Desa Lelobatan untuk melakukan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) Mutis-Timau seluas 127 hektare (Ha).
Desa Lelobatan merupakan salah satu desa dari sekian banyak desa di NTT yang menjadi fokus (sasaran) dari kegiatan RHL yang dicetuskan oleh BPDAS Benain Noelmina bersama KPH Kabupaten TTS sejak 2019 silam.
Desa yang berlokasi di bagian Utara Kabupaten TTS ini masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Mollo Utara bakal menjadi contoh bagi semua pihak di NTT dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL).
“Ini menjadi sebuah lokasi contoh bagi semua pihak yang konsen terhadap upaya-upaya perbaikan dan pemulihan lingkungan dan juga sebagai lokomotif untuk bisa diterapkan dimasing-masing daerah,”kata Kepala Balai Pengelolaan Aliran Sungai (BPDAS) Benain Noelmina NTT, Dolfus Tuames kepada wartawan beberapa waktu lalu.
Dolfus mengatakan kegiatan RHL sempat ditentang dan ditolak masyarakat dengan berbagai macam alasan. Karena menurut mereka lahan tersebut milik nenek moyang dan lokasi pengembalaan masyarakat.
“Padahal lahan ini masuk dalam kawasan hutan Mutis-Timau yang dikelola KPH TTS,” ungkapnya.
Meskipun mendapat penolakan, namun BPDAS Benain Noelmina bersama KPH TTS tetap melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pengelolaan kawasan hutan lindung ini.
“Penolakan oleh masyarakat, namun kami tetap lakukan pendekatan dan dialog. Kita berikan penyadaran akan nilai penting, seperti aspek ekonomi sosial, ekologi. Kami terus berdiskusi dengan masyarakat di sekitar lokasi ini, sehingga mereka terlibat aktif,” jelasnya.
Upaya-upaya yang dilakukan adalah memberikan keyakinan kepada masyarakat bahwa melalui kegiatan penanaman akan memberikan manfaat dalam hal ini kemakmuran dan kesejahteraan kepada masyarakat.
Pola tanam yang digunakan pada program RHL ini dengan sistem jalur, sehingga lahan sisa bisa dimanfaatkan masyarakat untuk tanaman musiman.
“Contoh nyata yang kami lakukan adalah pola tanam yakni sistem jalur yang kita pakai. Tanaman kehutanan dengan jarak 4×6 meter agar memberi ruang untuk kegiatan atau aktivitas pertanian dengan melakukan penanaman-penanaman komoditas pertanian. Dan hasil yang diperoleh berkisaran Rp 300 ribu hingga jutaan yang didapat masyarakat. Ini dipengaruhi kualitas komoditi yang mereka jual,”bebernya.
Komoditi yang dikembangkan di kawasan hutan ini, antara lain ubi jalar, kentang, wortel, kacang merah, bawang, pisang dan lainnya. “Kita juga berikan insentif dengan berikan bantuan berupa jeruk, dan jambu kristal,”tandasnya.
Pada 2023 ini juga, lanjut dia, BPDAS Benain Noelmina juga masukan program Usaha Pelestarian Sumber Daya Alam (UPSA), sehingga lokasi di Lelobatan ini bisa dijadikan daerah percontohan bagi daerah yang hendak melakukan konvervasi.
Menurut dia, konservasi penting dilakukan karena kondisi iklim NTT. Dimana musim hujan sangat sedikit hanya 4 bulan, dan kemarau panjang. “Ini sebagai bukti luar biasa, sehingga semua hal dari fakfor pembatas dapat dimanage dengan baik, bisa manfaatkan untuk hasilkan benefid,” jelasnya.
Ada pun, kata dia, faktor yang mengancam rehabilitasi, seperti melakukan pengembalaan liar dan tebas bakar dalam upaya pengelolaan lahan. “Ini faktor yang mengancam rehabilitasi hutan di NTT,”imbuhnya.
Namun dia mengaku pihaknya terus lakukan koordinasi dengan Pemda Provinsi dan Kabupaten kota, intinya untuk perbaikan lingkungan melalui kerja kolaboratif, program kegiatan hingga peran para pihak.
“Kita juga lakukan pendekatan dengan tokoh agama, dan tokoh masyarakat, karena secara sosial mereka didengar dan dipatuhi oleh masyarakat. Kemudian kita melakukan upaya-upaya dialog agar mendapat frekuesi berpikir yang sama maka otomatis kita akan punya derap langkah yang sama sehingga upaya kita rehabilitasi hutan dan lahan, sudah dipahami semua pihak, bahwa hutan dan lingkungan kita harus sama-sama perbaiki dan jaga,”terangnya.
Mengelola DAS, jelasnya, sama dengan mengelola landscap atau bentangan lahan. Sehingga melewati batas administratif, provinsi, kabupaten, kecamatan, desa dan lainnya. Berkaitan dengan pengelolaan DAS itu merupakan kerja-kerja yang melintasi batas administratif dan itu hanya bisa dilakukan dengan kerja-kerja kolaboratif.
Dijelaskan, dengan sumber air yang cukup maka masyarakat bisa beraktivitas dimusim kemerau sekalipun baik dilahan kering maupun lahan basah. Tidak hanya mengandalkan air pada musim hujan tetapi bisa mendapatkannya di kawasan hutan maupun dilahan milik masyarakat.
“Ini menjadi tanggung jawab kita bersama yang hidup dan berdiam di muka bumi ini,”paparnya.
Lebih lanjut kata dia, kegiatan tanam menanam secara vegetatif diharapkan menjadi show window yang bisa berdampak bagi wilayah-wilayah lain yang merupakan lokasi intensif dilakukan upaya-upaya rehabilitasi hutan melalui vegetatif dan bisa diadopsi di sekitar Usaha Pelestarian Sumber Daya Alam (UPSA) atau di daerah yang jauh.
Dalam kesempatan itu dirinya terus memacu dan mendorong masyarakat untuk tidak lelah menanam pohon agar ketersediaan air tetap terjaga.
“Ketersediaan air secara terus menerus, sehingga pohon harus dijaga. Oksigen yang kita hirup secara gratis. Jadi kita jangan lelah tanam pohon, karena pohon bisa munculkan sumber mata air dimana pun,” pungkasnya.
Untuk diketahui bahwa program RHL di Kabupaten TTS sendiri dilakukan diatas lahan seluas 725 Ha yang tersebar di sejumlah desa antara lain; Oeuban 295 ha, Fatukoto 50 ha, Ajaobaki 50 ha, Lelobatan A 50 ha, dan B 175 ha. Kemudian areal tersebut terbagi dalam 2 lokasi perbatasan yang ditanami 625 pohon. (Hiro Tuames)