Blunder Melki Laka Lena

oleh -37 Dilihat

Oleh Jansen Situmorang, Pemerhati Kebijakan Publik

Suara-ntt.com, Kupang-Ada hal menarik dari tayangan acara Debat Publik Pertama Pasangan Calon Gubernur-Wakil Gubernur NTT. Acara debat tersebut digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi NTT di Millenium Ballroom Kupang, Rabu, 23 Oktober 2024.

“Kalau bukan bagian dari Koalisi Pusat tidak mungkin bisa dikucurkan anggaran,” tegas Emanuel Melkiades Laka Lena, calon Gubernur NTT saat sesi tanya jawab antara pasangan calon (paslon).

Melki yang berpasangan dengan Johanis Asadoma adalah Paslon No urut 02 yang saat itu menanggapi pertanyaan dari Paslon 03 Simon Petrus Kamlasi-Adrianus Garu.

Simon mengajukan pertanyaan mengenai inovasi pelayanan publik seperti apa yang akan dilakukan pasangan Melki-Johni terkait masalah akses air bersih untuk masyarakat dan irigasi pertanian.

Waktu 2 menit yang diberikan moderator kepada Melki-Joni untuk menjawab inovasi dan solusi terkait masalah air tidak mendapatkan jawaban. Yang diulas Ketua DPD Partai Golkar NTT itu justru mengenai program pemerintah Pusat. Yang ditekankan adalah bahwa rakyat NTT harus bersyukur telah dibangun sejumlah bendungan, waduk, dan embung di berbagai daerah.

Tidak ada paparan inovasi atau solusi yang dihadirkan Melki terkait programnya sebagai cagub. Padahal sebagai seorang calon kepala daerah, dia seharusnya telah memahami masalah krusial yang terjadi di NTT.

Iklim kering plus topografi pebukitan sabana dan dataran kering yang mendominasi banyak wilayah menjadikan akses ke air bersih menjadi isu penting di NTT.

Tidak hanya itu, jika memperhatikan hasil Sensus Pertanian 2023 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 873.096 rumah tangga yang hidup dari pertanian di NTT. Mengacu pada data BPS 2022, di provinsi ini terdapat 1.183.251 rumah tangga.

Itu berarti 73,78 persen rumah tangga di NTT hidup dari pertanian. Dalam konteks inilah urgensi akses air untuk kebutuhan pertanian tidak perlu dipertanyakan lagi.

Maka menjadi aneh bila calon kepala daerahnya tidak memiliki program khusus terkait masalah air. Malah terkesan melemparkan tanggung jawab tersebut ke Pusat.

Tanpa memberikan solusi, Melki hanya mampu menjanjikan jika dia terpilih akan banyak bantuan Pusat untuk Provinsi NTT.

Pelayan Publik atau Pelayan Kepentingan Politik?

Ada dua poin penting yang bisa disebut sebagai blunder Melki Laka Lena dalam debat perdana tersebut.

Debat pertama ini menyoroti tema Pelayanan Publik. Lengkapnya: Transformasi & Inovasi Pelayanan Publik bagi Percepatan Penyelesaian Persoalan Daerah di NTT!

Tema ini memberikan landasan esensial pada setiap jenjang kekuasaan dalam pemerintahan demokratis. Kedaulatan berada di tangan rakyat (publik). Pemimpin, termasuk kepala daerah yang terpilih dalam kontestasi elektoral adalah pelayan publik. Maka kepemimpinannya harus berorientasi pada kepentingan dan pelayanan warga masyarakat, tanpa ada pembedaan, tanpa ada kepentingan personal atau politik.

Poin ini digarisbawahi oleh Paslon 01 Yohanis Fransiskus Lema-Jane Natalia Suryanto. Keduanya berani berkomitmen untuk mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan lain. Bahwa reformasi birokrasi harus dimulai dari pemimpin sebagai kepala dari para pelayan publik. Prinsip birokrasi yang bersih, transparan, dan akuntabel menjadi penekanan.

Hal berbeda justru ditunjukkan Paslon 02. Melki beberapa kali memberikan penegasan pada kepentingan politik di balik kebijakan, program, dan anggaran justru pada saat membahas tentang pelayanan publik. Maka wajar jika secara logis akan muncul pertanyaan. Jika menjadi kepala daerah, apakah Melki-Johni akan menempatkan diri sebagai pelayan publik atau pelayan kepentingan politik?

Inilah yang dimaksud Brian C. Smith dalam bukunya “Good Governance and Development” sebagai pelemahan akuntabilitas politis (2007; hal.26). Smith menyebut, kondisi itu terjadi manakala kontestasi dipahami sebatas pengakuan akan legitimasi elit-elit politik. Artinya, Pilkada dipahami bukan lagi ajang bagi warga sebagai pemegang hak suara dan kedaulatan untuk memilih figur yang dapat memberikan pelayanan terbaik.

Itulah yang dilakukan Melki. Dengan terus menekankan koalisi pusat dan anggaran pusat, dia mencoba mengafiliasikan diri dengan kepentingan-kepentingan elit-elit politik di Jakarta. Realitas di depan mata terkait kebutuhan layanan publik hanya faktor tambahan. Dengan berani dia menggarisbawahi bahwa bantuan pusat hanya akan datang bila pemimpin terpilih hasil Pilkada NTT adalah kandidat yang berlatar belakang Koalisi Indonesia Maju (KIM).

Smith menguraikan pelemahan akuntabilitas politik ini berpotensi melebar ke berbagai aspek. Ketika kepentingan elit politik menjadi panglima, maka potensi kepentingan personal, kolusi, dan nepotisme akan menjalar ke berbagai aspek lain dalam birokrasi. Alhasil, penempatan dan promosi ASN bisa diintervensi. Demikian pula proyek-proyek pembangunan akan berpotensi sarat kepentingan politik pula.

Jika pun ada kepentingan KIM dalam pilkada maupun pembangunan di NTT, maka Melki-Johni mungkin lupa bahwa pasangan yang diusung KIM dalam Pilpres 2024 meraih kemenangan mutlak di Bumi Flobamora. Pasangan Prabowo-Gibran meraih 1.798.753 suara, unggul jauh dari dua pasangan kompetitor.

Kalau pun Prabowo-Gibran memiliki kepentingan politik dalam prioritas pembangunan maka cukup naif bila keduanya mengabaikan provinsi dan mayoritas masyarakat NTT yang telah mendukung keduanya hanya karena kepala daerahnya bukan berlatar belakang KIM.

Kenegarawanan Prabowo

Blunder keduanya adalah mengatasnamakan Pemerintah Pusat, kepemimpinan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Melki mengaku hadir dalam acara pelantikan Prabowo-Gibran. Maka tentunya dia mendengar secara langsung pidato perdana Prabowo sebagai Presiden RI.

“Kita masing-masing punya kepentingan politik masing-masing, punya kepentingan kelompok masing-masing. Tapi, manakala kita sudah bicara tentang bangsa dan negara, kita harus sepakati mana yang kepentingan nasional yang vital!”

Itu penggalan dari pidato Prabowo yang menunjukkan kenegarawanan dan jiwa patriotisnya. Kepentingan bangsa dan negara dalam pandangan Prabowo harus ditempatkan di atas segala kepentingan lain.

Kalimat itu disampaikan hanya tiga hari sebelum debat calon kepala daerah NTT digelar. Artinya Paslon 02 yang hadir secara langsung di acara tersebut seharusnya mampu menangkap dan mencerna secara lebih mendalam nuansa dan spirit yang dilontarkan Presiden ke-8 RI ini.

Yang terjadi justru berbeda. Pesan yang disampaikan ke publik NTT seakan-akan ada kepentingan politik yang akan dimainkan Pemerintah Pusat terkait program dan kebijakan pembangunan daerah, termasuk dalam hal anggaran dan bantuan Pusat.

Mungkin yang dimaksud Melki secara khusus tentang Pemerintah atau Koalisi Pusat adalah para Menteri dalam Kabinet Merah Putih, bukan Prabowo-Gibran. Ini pun bisa dinilai bias jika mengacu pada pidato tegas Prabowo dalam Sidang Paripurna Perdana Kabinet Merah Putih.

Berikut nukilan pidato tersebut:
“Kami akan mengutamakan kepentingan bangsa Indonesia, kepentingan rakyat Indonesia di atas segala kepentingan, di atas segala golongan, apalagi kepentingan pribadi kami!

Setiap pemimpin dalam setiap tingkatan harus ingat, pekerjaan kita harus untuk rakyat. Bukan kita bekerja untuk diri kita sendiri. Bukan kita bekerja untuk kerabat kita. Bukan kita bekerja untuk pemimpin-pemimpin kita.
Pemimpin yang harus bekerja untuk rakyat!

Marilah kita bangun masa depan bersama. Marilah kita mengangkat rekan-rekan kita, walaupun berbeda suku, berbeda agama, berbeda partai, berbeda golongan. Kita adalah sama-sama anak-anak Indonesia!”

Itu pidato dari seorang presiden yang sangat nasionalis. Penegasan tentang konsepsi kenegarawanan dan pemimpin sebagai pelayan rakyat sangat kental. Perlu digarisbawahi jika Prabowo juga menegaskan siap memberhentikan anggota kabinet yang memiliki spirit berbeda.

Merujuk pada penegasan politik Prabowo sebagai kepala Pemerintahan Pusat maka sunguh naif bila ada pihak yang dengan sengaja memelintir pesan-pesan tersebut.

Bila ada figur calon pemimpin yang masih memprioritaskan, bahkan mengandalkan kepentingan politik di atas pelayanan bagi masyarakat banyak maka kredibilitias dan akuntabilitas kepemimpinannya jelas layak dipertanyakan. ***