Suara-ntt.com, Kupang-Wakil Ketua Komisi V DPRD NTT, Mohammad Ansor mengatakan pihaknya bakal mengundang Yayasan dan Rektorat untuk mengklarifikasi persoalan yang sedang dihadapi DR. Lanny Koroh.
“Jalan terbaik adalah kami menjadi mediator untuk menghadirkan Yayasan, Rektorat dan Pemerintah Provinsi dalam waktu dekat agar persoalan ini segera terselesaikan,” ujarnya pada acara dengar pendapat dengan DR. Lanny Koroh bersama koleganya di ruang Komisi V DPRD Provinsi NTT, Selasa (4/2/2020).
Ansor mengatakan, akan melaporkan pengaduan DR. Lanny itu ke Pimpinan DPRD Provinsi NTT untuk selanjutnya dijadwalkan sesegera mungkin agar ruang mediasi itu segera diagendakan sebelum mereka melakukan kunjungan kerja ke daerah.
DR. Lanny ID. Koroh, SPd, MHum mengadukan Rektor Universitas Persatuan Guru 1945 (UPG45) dan Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan Perguruan Tinggi Persatuan Guru Republik Indonesia Nusa Tenggara Timur (YPLP PT. PGRI NTT) kepada Komisi V DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), karena honornya tak dibayar sejak 2014 dan menelantarkan nasibnya.
DR. Lanny mendatangi DPRD NTT didampingi sejumlah kolega diantaranya Winston Rondo, Anwar Hajral, dan Riesta Megasari. Mereka diterima Wakil Ketua Komisi V DPRD Provinsi NTT H. Mohammad Ansor, Wakil Ketua, Kristin Paty, Sekretaris Yohanes Rumat dan anggota , Ana Waha Kolin dan Emanuel Kofridus.
Lanny Koroh yang merupakan Doktor Linguistik lulusan Universitas Udayana ini
mengungkapkan, sejak pertengahan tahun 2014 hingga Februari 2020, pihak UPG45 NTT tidak pernah memberikan haknya sebagai dosen tetap. Hingga ia mengambil keputusan untuk melanjutkan studi S3 di Udayana sampai 2017 tanpa bantuan biaya dari Universitas PGRI.
“Tahun 2017 saya dijanjikan oleh Pimpinan Yayasan Sam Haning akan diberikan bantuan dana penyelesaian studi S3, tetapi tidak ada realisasi, saya sampai gadaikan Ijasa S2 saya di BNI untuk menyelesaikan S3 saya,” ujarnya dengan suara terbantah- bantah sambil menangis.
DR. Lanny berkali kali menghadap pihak Yayasan dan Rektor untuk meminta kembali berikan tugas sebagai dosen, namun semua akses komunikasi ditutup.
“Mulai tahun 2017, dan pada awal tahun 2019, saya kembali bertemu Yayasan, Rektor dan Dekan juga tidak ada jawaban. Akhirnya pada 8 Juni 2019, saya mengajukan permohonan untuk mengundurkan diri, namun tidak digubris hingga tahun 2020,” ujarnya.
Tak sampai disitu, Lanny kembali menjumpai Rektor UPG45 NTT, David Selan, namun oleh Rektor UPG45 NTT disampaikan bahwa berdasarkan kesepakatan para dosen, pengunduran diri DR. Lanny tidak diberikan dengan alasan bahwa ia merupakan aset UPG45 NTT.
“Saya lalu menanyakan hak-hak saya sebagai dosen, karena sejak tahun 2014 saya tidak pernah menerima satu rupiah pun dari UPG45 NTT. Malahan saya dibentak oleh Rektor David Selan dan mengatakan bahwa tidak bisa datang tanya gaji, dan sambil banting pintu lalu keluar ruangan dan mengatakan, mau lapor siapa pun silahkan lapor saja, saya tidak takut,” ujar DR. Lanny dihadapan Komisi V DPRD NTT.
Winston Rondo, salah satu kolega DR. Lanny yang mendampingi di Komisi V DPRD NTT mengatakan, kasus yang menimpah DR. Lanny menggambarkan betapa mirisnya wajah pendidikan tinggi di NTT.
“Ini anak asli NTT dengan kualitas ilmu seorang Doktor tapi diperlakukan sewenang-wenang oleh lembaga pendidikan tinggi. Saya harap DPRD NTT dan Pemerintah Provinsi NTT bisa menyikapi persoalan ini agra tidak terjadi lagi pada anak-anak NTT lainnya,” ujar mantan Anggota DPRD NTT ini.
Pimpinan Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan Perguruan Tinggi Persatuan Guru Republik Indonesia Nusa Tenggara Timur (YPLP PT. PGRI NTT) yang menjalankan UPG45 NTT Samuel Haning ketika dikonfirmasi terpisah mengatakan, persoalan itu mejadi urusan Rektor dengan DR. Lanny. “Itu urusan Rektor dan yang bersangkutan,” ujar Sam Haning singkat. (Hiro Tuames)