Suara-ntt.com, Kupang-Para petani dari Desa Bena dan Desa Pollo Kecamatan Amanuban Selatan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) mendatangi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi NTT menyampaikan masalah yang dialami oleh mereka terkait pengelolaan air oleh Petugas Pintu Air (PPA) dan Petugas Operasional Bendung (POB) Linamnutu karena dinilai bekerja tidak becus.
Menanggapi pengaduan masyarakat anggota Komisi IV DPRD Provinsi NTT, Yohanes De Rosari merekomendasikan untuk segera turun lokasi melihat kondisi irigasi yang dikeluhkan warga Bena.
Selain itu mereka meminta Pemerintah Kabupaten dan Kecamatan untuk membantu untuk selesaikan masalah tersebut. Jika masalah tak kunjung selesai maka pihak Komisi IV DPRD Provinsi NTT akan mengundang Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Balai Sungai untuk dilakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP).
“Besok kita turun lokasi Bena. Kita harap Pemerintah Kabupaten untuk selesaikan. Kita juga akan gelar RDP setelah pulang pantau di lokasi. Kalau kita tidak menghadirkan pemerintah tentu tidak akan selesai,” tegasnya.
Anggota Komisi IV DPRD Provinsi NTT lainnya Dominggus Dama mengatakan, terjadi mis komunikasi antara para kelompok masyarakat yang tergabung dalam Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dengan penjaga yang ditempatkan oleh Dinas PUPR Provinsi NTT.
“Kami mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan kemelut yang terjadi agar manajemen pengelolaan air menjadi teratur dan para petani bisa terlayani,” katanya.
Seperti yang disaksikan media ini ada puluhan petani setempat melakukan aksi unjuk rasa di DPRD Provinsi NTT, Rabu (5/2/2020).
Mereka dimotori oleh Koordinator Front Perjuangan Rakyat NTT, Fadli Aneto. Mereka sempat berorasi di Kantor Gubernur NTT, lalu bergeser menuju gedung DPRD Provinsi NTT.
Di Komisi IV DPRD Provinsi NTT, mereka diterima oleh Yohanes De Rosari yang didampingi oleh Agustinus Bria, Vinsen Patta, Aleks Fonay dan Dominggus Dama.
Dalam dialog tersebut, Koordinator Front Perjuangan Rakyat NTT, Fadli Aneto
mengatakan area irigasi persawahan seluas 2.700 hektar kondisinya memprihatinkan. Sejak 2015 hingga sekarang petani sawah selalu mengeluh kondisi yang sama soal saluran air irigasi tidak merata dari hulu hingga hilir.
Fadli menuturkan sejumlah pintu utama irigasi tidak dibersihkan sehingga aliran air tersumbat lumpur. Padahal ada petugas air dibiayai negara untuk bertanggung jawab mengatur aliran air. Berbagai pendekatan sudah dilakukan untuk mengingatkan petugas P3A tetapi tidak juga lancar.
“Pintu besar banyak lumpur, petugas tidak dibersihkan, kasihan warga sawahnya kering. Masyarakat sudah berinisiasi bertemu kepala dan petugas air tapi sama saja selalu terulang masalah yang sama, “katanya
Ketua Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) Desa Bena, Markus Nomleni mengaku kesal musim hujan tapi area persawahan belum bisa di olah karena kering. Padahal debit air besar bisa memenuhi kebutuhan area sawah merata dari hulu hingga ke hilir. Tapi karena tersumbat lumpur sehingga air merembes keluar saluran. Biasanya Desember hingga Januari sudah selesai tanam tapi karena air tidak ada sehingga baru sekitar 500 hektar yang sudah siapkan lahannya sementara 3.000 hektar belum diolah.
“Bapak Ibu dewan turun lokasi lihat langsung. Pintu air dipenuhi lumpur sehingga air tidak mengalir. Volume air disejumlah pintu setelah di buka melebihi standar sehingga air terbuang saja. Ini salahnya dari petugas. Kita heran selama ini petugas tidak ada di tempat,”kesalnya
Hal serupa disampaikan Esa Nabuasa, menuturkan sebagai petani sawah minta supaya revisi pegawai P3A karena kinerjanya sangat buruk. Hingga sekarang para petani setempat tidak mengenal pegawai irigasi yang ditempatkan Dinas PUPR NTT. Dalam papan struktur tercatat sebanyak 18 pegawai tapi mereka tidak berada di lokasi. Sehingga Dinas PUPR perlu mengingatkan para petugas bila perlu digantikan saja.
Kepala Dinas PUPR Provinsi NTT Maksi Nenabu melalui Kepala Bidang Operasi dan Pemeliharaan SDA dan Irigasi pada Dinas PUPR Provinsi NTT, Benyamin Nahak, ST. MT menjelaskan persoalan yang terjadi di lapangan, bukan saja urusan Dinas PUPR tetapi juga ada Dinas Pertanian.
“Tetapi ini menyangkut dengan air dan irigasi maka kita segera selesaikan,” katanya.
Ia menjelaskan, sejumlah petugas yang ditempatkan di lokasi irigasi selalu dievaluasi kinerjanya meskipun beban kerjanya sangat berat.
“Tugas mereka adalah membuka dan membersihakn pintu air dengan gaji Rp 1,5 juta dan selalu dievaluasi setipa tiga bulan,” ungkapnya.
Menurut Nahak, pihaknya telah menjadwalkan pertemuan dengan para petani di Kantor Desa Bena. “Sebelum mereka datang ke DPRD NTT, kami sudah jadwalkan dan kami juga senang ada aksi seperti ini sebagai kontrol terhadap kinerja petugas di lapangan. Petugas kami kerja penuh resiko karena jika banjir besar dan membawa kotoran dan sedimen lumpur dan sebagainya akan menutup pintu air dan mereka harus membersihkan,” pintanya.
Meski demikian, setelah ada pertemuan bersama itu akan dilakukan evaluasi untuk memperbaiki kinerja petugas agar pasokan air untuk petani bisa terlayani dengan baik.
Desak Guburnur Pecat Petugas Lapangan
Sebelumnya para petani dari Desa Bena, Desa Pollo, dan Desa Linamnutu Kecamatan Amanuban Selatan Kabupaten TTS mendatangi Kantor Gubernur mendesak Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat, memecat para petugas di Bendungan Linamnutu.
Mereka menyuarakan pemecatan terhadap Petugas Pintu Air (PPA) dan Petugas Operasional Bendung (POB) Linamnutu karena dinilai tidak becus bekerja.
Masyarakat petani asal Amanuban Selatan ini menyebut para PPA dan POB acuh dan tak melaksanakan tugas dengan profesional sehingga menyebabkan terlambatnya masa tanam awal tahun ini pada beberapa desa seperti Desa Bena, Desa Pollo, dan Desa Linamnutu.
Mereka menyebut Bendung Linamnutu sendiri diperuntukkan bagi kepentingan irigasi sawah seluas 3.515 hektare tetapi sampai saat ini hanya 25 persen lahan yang bisa dibajak.
Markus Nomleni Ketua Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air (GP3A), dalam orasinya saat itu menilai debit air bendungan tersebut cukup untuk mengairi ribuan hektar sawah namun tidak dilakukan petugas.
“Mereka tutup saja begitu dari sungai Noelmina tidak alirkan ke kita,” ucap Markus disahut sorakkan massa.
Markus juga menyebut para petugas bendungan tampak menikmati fasilitas operasional dari negara untuk keperluan pribadi dan tidak berada di tempat kerja pada waktu yang dibutuhkan, padahal kebutuhan irigasi bisa diperlukan petani kapan saja.
“Mereka gaya pakai motor plat merah, hari Minggu juga tidak masuk seperti PNS, kita masyarakat butuh mereka kapanpun karena masalah air tidak pernah libur tapi bisa-bisanya mereka tidak ada di tempat!” pekiknya.
Ia mengatakan bendungan yang efektif sejak tahun 2012 ini pernah mengalami dua kali patahan pada tahun 2017 dan masyarakat tani dari beberapa desa ini terpaksa secara swadaya melakukan perbaikan.
Markus menyebut, saat terjadi patahan pertama telah dilakukan perbaikan dengan anggaran dari Dinas PUPR tetapi PPA di lokasi tidak transparan soal besaran anggaran saat ditanyai warga.
Kemudian patahan kedua terjadi di bekas patahan sebelumnya setelah seminggu dilakukan perbaikan oleh para petugas. Masyarakat akhirnya terpaksa swadaya melakukan perbaikan karena takut terjadi kekeringan saat itu sedangkan para petugas tidak menanggapi serius masalah itu.
“Mereka perbaiki satu minggu saja langsung rusak lagi tapi kita masyarakat yang swadaya, kumpul uang, dan perbaiki itu patahan malah bisa bertahan sampai sekarang 2020 ini. Mereka bilang sudah foto kirim ke dinas tapi tidak jelas sampai sekarang. Anggaran perbaikan pertama kali saja tidak pernah terbuka ke kita!” seru Markus.
Masyarakat petani yang tergabung pada aksi bersama Front Perjuangan Rakyat ini ingin agar Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat, memperhatikan tuntutan mereka yang berdampak pada ketersediaan pangan ke depan.
“Kita masyarakat tambah susah kalau kerjanya mereka seperti ini apalagi musim kering sekarang,” kata Markus.
Masyarakat yang ingin beraudensi langsung dengan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat, serta-merta menolak kehadiran Marius Jelamu selaku Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi NTT yang tiba saat itu. Tidak sampai 10 menit Marius bertatap muka bersama puluhan massa aksi yang bersarung tenun dengan membawa ragam bendera dan bermacam spanduk berisi tuntutan mereka.
“Kami tidak mau yang keluar cuma yang orang yang tampung-tampung keluhan kami. Kami mau pengambil kebijakan datang langsung temui kami. Rumah kami jauh, hargai kedatangan kami,” teriak massa. (Hiro Tuames)