Juru bicara Fraksi Partai Golkar DPRD Provinsi NTT, Maksimilianus Adipati Pari ketika membacakan Pemandangan Umum Fraksi Partai Golkar DPRD Provinsi NTT dalam Sidang Paripurna, Senin (19/9/2022).
Suara-ntt.com, Kupang-Fraksi Golongan Karya (Golkar) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi NTT mempertanyakan dan meminta Pemerintah Provinsi yang telah melakukan pengeluaran dana mendahului perubahan APBD 2022 sebesar Rp 3,2 miliar untuk membiayai kunjungan Presiden Timor Leste, Ramos Horta di Labuan Bajo dan Kota Kupang pada 22-25 Juli 2022 lalu.
Untuk diketahui bahwa Pemprov NTT mengeluarkan anggaran sebesar itu dalam rangka kunjungan Presiden RDTL ke NTT. Hal itu dilakukan berdasarkan permintaan Dirjen Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri RI meminta agar kunjungan Presiden RDTL itu difasilitasi sesuai ketentuan perundangan, dan telah menelan biaya sebesar Rp 3,2 miliar.
“Fraksi Partai Golkar mempertanyakan dan meminta penjelasan Pemerintah Daerah karena pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat (GWPP) telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2018 Pasal 4 ayat (1) dimana ditegaskan, bahwa Pendanaan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang GWPP dibebankan pada APBN. Hal itu dipertegas lagi dalam Permendagri No. 12 Tahun 2021 Pasal 15 ayat (1): Pendanaan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang GWPP bersumber dari APBN melalui dana dekonsentrasi,”kata Juru Bicara Fraksi Partai Golkar DPRD Provinsi NTT, Maksimilianus Adipati Pari ketika membacakan Pemandangan Umum Fraksi Partai Golkar DPRD Provinsi NTT dalam Sidang Paripurna, Senin pada Senin, 19 September 2022.
Paripurna dengan agenda Pemdangan Umum Fraksi terhadap terhadap Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur TA 2022 dipimpin Wakil Ketua DPRD NTT, Dr. Inche Sayuna dan dihadiri Sekertaris Daerah (Sekda) Provinsi NTT Domu Warandoy.
Dikatakan Maksi, penggunaan dana Pemda untuk memfasilitasi kunjungan Presiden Republik Demokratik Timor Leste, tetapi tidak tersedia anggarannya dalam APBD bertentangan dengan Pasal 124 ayat (1) PP Nomor 12 Tahun 2019, yang menegaskan, bahwa setiap Pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBD apabila anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia. “Mohon penjelasan,” tegasnya.
Fraksi Partai Golkar menguraikan, Nota Keuangan atas Perubahan APBD TA 2022 menampilkan beberapa hal yang tidak lazim yang menyebabkannya berbeda dengan tahun tahun sebelumnya. “Pertama, dalam menghadapi “Keadaan mendesak”, Saudara Gubernur bukannya menggunakan dana BTT yang tersedia dalam APBD sebesar Rp 32.355.619.337,- secara optimal, sebagaimana diarahkan oleh pasal 55 ayat (4) PP No. 12 Tahun 2019, tetapi lebih memilih alternatif redesain program, kegiatan dan anggaran yang telah ditetapkan dalam APBD dengan dasar pertimbangan masih adanya desrupsi akibat pandemi COVID-19; padahal justru pada Tahun Anggaran 2022, COVID-19 sudah sangat melandai dan ekonomi sudah mulai menggeliat serta pergerakan manusia, barang dan jasa sudah mulai meningkat secara signifikan,”ungkapnya.
Disebutkan, dalam Nota Keuangan tergambar bahwa Saudara Gubernur hanya menggunakan dana BTT sebesar Rp 7.223.896.620,- atau 22,33 persen dari pagu yang tersedia dalam APBD Tahun 2022., Redesain secara sepihak terhadap program, kegiatan dan anggaran yang sudah ditetapkan dalam Perda APBD TA 2022 melalui penerbitan 6 buah Pergub Perubahan.
Menurut Fraksi Partai Golkar, justru menjustifikasi lemahnya perencanaan yang selama ini dikeluhkan. “Sementara di pihak lain, kita memiliki banyak staf ahli dan staf khusus yang direkrut dengan biaya yang tidak sedikit atas beban APBD,”bebernya.
Dia menambahkan, Kedua, efisiensi dan efektivitas pengelolaan anggaran untuk beberapa kegiatan tidak terlihat. “Justru terkesan terjadi pemborosan dan kontradiktif dengan usaha kita mengentas warga miskin yang jumlahnya masih di atas 20-an persen, sehingga menempatkan kita masih pada urutan ketiga, provinsi termiskin di Indonesia,”pintanya.
“Ketiga, kita lebih tanggap mengeluarkan dana untuk ,”kegiatan yang bukan Urusan Provinsi, tetapi urusan pusat, yang mekanisme pendanaannya juga sudah diatur dalam ketentuan perundangan. Keempat, kita lemah dalam perikatan kerja dengan Pihak Ketiga, sehingga memberi peluang keuntungan lebih bagi Pihak Ketiga; dibandingkan jaminan kemanfaatan yang kita dapatkan dari perikatan itu,” tambahnya.
Kelima, redesain yang dilakukan Pemerintah melalui 6 Peraturan Gubernur Perubahan, dilakukan sepihak padahal regulasi yang mengatur tentang Pengelolaan Keuangan Daerah sudah mengatur secara jelas; mana pergeseran yang membutuhkan persetujuan DPRD dan mana yang tidak memerlukan persetujuan DPRD.
“Fraksi Partai Golkar mengharapkan agar Komunikasi Kemitraan antara Kepala Daerah dan DPRD melalui Pmpinan DPRD dibenahi, agar terjadi sinergitas yang kuat bagi peningkatan pelayanan kepada masyarakat,” ujarnya.
Disebutkan, Fraksi Partai Golkar setuju dengan rekomendasi Badan Anggaran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari persetujuan Perubahan KUA dan Perubahan PPAS TA 2022 serta meminta agar hal- hal tersebut tidak diulangi lagi pada TA 2023.
Golkar juga menyoroti pemanfaatan dana dalam rangka memperingati Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2022 sesuai surat Badan Pembinaan Idiologi Pancasila tgl 9 Mei 2022. “Anggarannya belum tersedia dalam APBD TA 2022, tetapi dananya sudah dikeluarkan sebesar 3,1 miliar melalui dua tahap, yaitu tahap 1 sebesar Rp 1,5 M melalui pergeseran dengan dasar Pergub No 63 Tahun 2022 tentang Perubahan Ketiga atas Pergub No 89 Tahun 2021 tentang Penjabaran APBD Tahun 2022 dan tahap 2 sebesar Rp 1,6 miliar dan belum ada dasar hukum pemanfaatannya. Hal ini bertentangan ketentuan Pasal 124 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) PP 12 tahun 2019. Fraksi Partai Golkar meminta penjelasan, bagaimana hal ini bisa terjadi,”tandasnya.
Tidak hanya itu, MoU antara Pemerintah Provinsi NTT dengan Yayasan Bambu Lestari, yang ditindaklanjuti dengan Pembuatan Perjanjian Kerja Samanya (PKS) oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menimbulkan banyak tanda tanya yang memerlukan klarifikasi.
“Pertama, MoU antara Gubernur dengan Yayasan Bambu Lestari tentang Pengembangaan Desa Wanatani Bambu dalam Rangka Mendukung Ekonomi Hijau di Wilayah Provinsi NTT, ditandatangani pada 24 Mei 2021. Kemudian MoU tersebut ditindaklanjuti dengan Pembuatan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Yayasan Bambu Lestari oleh Dinas PMD per- tahunan dan oleh Dinas LHK per- lima tahunan dan ditandatangani para Pihak pada 24 Mei 2021 bersamaan dengan penandatangan MoU antara Gubernur NTT dengan Yayasan Bambu Lestari. Tetapi menariknya adalah, bahwa Pergub tentang Desa Wanatani Bambu, baru diterbitkan satu tahun kemudian. Pergub Nomor 73 Tahun 2022 tentang Desa Wanatani Bambu baru ditetapkan pada tanggal 15 Juni 2022,” sebutnya.
Kedua, PKS antara Dinas PMD dengan Yayasan Bambu Lestari Tahun 2021, Pasal 5 ayat (3) butir f, menegaskan, bahwa Pihak Kedua (Yayasan Bambu Lestari) berhak mendapatkan administratif cost senilai Rp 900.000.000,- dan Biaya TOT sebesar Rp 124.470, 000,- yang dibayarkan berdasarkan perkembangan pekerjaan di lapangan sesuai ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Ketiga, PKS antara Dinas PMD dan Yayasan Bambu Lestari Tahun 2022 mengalami modifikasi. Pasal 2 menegaskan bahwa obyek PKS ini adalah penyediaan bibit bambu, membangun kebun kepompong dan fasilitasi hibah bibit bambu kepada masyarakat dalam rangka pengembangan desa wanatani bambu. Pasal 4 menegaskan PKS ini secara teknis pelaksanaannya dilakukan oleh para pihak secara swakelola. Pasal 5 menegaskan bahwa Hak dan Kewajiban para Pihak diatur lebih lanjut dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK).
“Jadi, kita tidak menemukan lagi dalam PKS ini tentang administratif cost dan lain-lain. Dengan demikian, mata rantai transparansi dan akuntabilitas publiknya semakin panjang. DPRD sendiri belum mendapatkan Kerangka Acuan Kerjanya yang berisi Hak dan Kewajiban Para Pihak yang merupakan bagian terpenting dari sebuah PKS,”tandasnya.
Keempat, PKS antara Dinas LHK dan Yayasan Bambu Lestari tentang Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu di wilayah Provinsi NTT dan ditandatangani tgl 24 Mei 2021 untuk jangka waktu lima tahun. Pasal 5 ayat (3) butir c, menegaskan: Kewajiban Pihak Kedua ( Yayasan Bambu Lestari), memfasilitasi dan menyediakan anggaran bagi pelaksanaan kegiatan sesuai tupoksinya. Selanjutnya, Pasal 6 tentang Pembiayaan menegaskan bahwa segala biaya yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan PKS ini dibebankan pada para Pihak sesuai dengan tugas dan tanggung jawab dan ketentuan peraturan Perundang-undangan.
“Dari uraian tersebut di atas maka pemberian Hibah kepada Yayasan Bambu Lestari oleh Pemerintah Provinsi melalui Dinas LHK tidak ada dasar hukumnya. Juga dalam Naskah MoU antara Gubernur dan Yayasan Bambu Lestari khususnya pada pasal tentang Maksud dan Tujuan MoU, sama sekali tidak disinggung tentang Hibah kepada Yayasan Bambu Lestari. Demi utuhnya pemahaman dan benarnya duduk perkara pemberian Hibah kepada Yayasan Bambu Lestari, Fraksi Partai Golkar meminta penjelasan yang komprehensif,”terangnya.
Lebih lanjut kata dia, sehubungan dengan pemanfaatan Dana Pinjaman PEN Daerah sebesar Rp 76 miliar lebih sesuai LHP BPK Tahun 2021, Fraksi Partai Golkar memberikan sejumlah catatan kritis.
“Sesuai Perjanjian Pemberian Kredit Nomor : PERJ-115/SMI/0821 , tanggal 13 Agustus 2021, pasal 2 butir (1) menegaskan, bahwa Tujuan penggunaan Pinjaman adalah untuk membiayai Kegiatan dengan jumlah Pinjaman setinggi-tingginya Rp 1,003.113.760.000,- dengan jangka waktu Pinjaman selama 8 tahun termasuk masa tenggang pembayaran pokok Pinjaman selama 24 bulan (pasal 3 butir 1. Selanjutnya, Pasal 8 butir (i ) menegaskan, bahwa, Pinjaman hanya akan digunakan untuk membiayai Kegiatan sesuai dengan pasal 2 Perjanjian dan tidak akan digunakan untuk kepentingan lainnya diluar Kegiatan (74 Ruas Jalan, 10 embung kecil, dan 19 SPAM seperti pada Lampiran I ); dan oleh karenanya, dalam hal terdapat konsekwensi hukum lainnya yang timbul diluar Perjanjian ini merupakan tanggung jawab hukum sepenuhnya Pihak Kedua (baca: Gubernur NTT) tanpa menghilangkan kewajiban Pihak Kedua untuk memenuhi pelaksanaan Perjanjian ini,”urainya.
“ Pinjaman hanya akan digunakan untuk membiayai Kegiatan sesuai dengan pasal 2 Perjanjian dan tidak akan digunakan untuk kepentingan lainnya diluar Kegiatan (74 Ruas Jalan, 10 embung kecil, dan 19 SPAM seperti pada Lampiran I ); dan oleh karenanya, dalam hal terdapat konsekwensi hukum lainnya yang timbul diluar Perjanjian ini merupakan tanggung jawab hukum sepenuhnya Pihak Kedua (baca: Gubernur NTT) tanpa menghilangkan kewajiban Pihak Kedua untuk memenuhi pelaksanaan Perjanjian ini,” sebutnya.
Ia menambahkan, berdasarkan catatan tersebut diatas Fraksi Golkar bisa menyimpulkan, bahwa dengan dalih apapun, Dana Pinjaman PEN tidak dapat digunakan untuk kegiatan lain karena pagu dananya sudah diikat dengan kegiatan tertentu pada akta kreditnya.
“Bila ketentuan ini dilanggar maka konsekwensi bisa berupa: implikasi hukum yang ditanggung oleh Pemda, mengecewakan masyarakat lokasi kegiatan sebagai Penerima manfaat, target kinerja penyediaan infrastruktur tidak tercapai, sementara kewajiban pembayaran bunga dan pokok pinjaman sesuai Perjanjian Pemberian Kredit harus dilunasi semuanya,” ujarnya.
Ditambahkan, Pasal 4 butir 4 menegaskan, bahwa masa Pencairan Pinjaman adalah sejak tanggal pencairan pertama Pinjaman sampai dengan paling lambat pada tanggal 30 Juni dan pasal 4 butir 5 menegaskan, bahwa apabila sampai dengan berakhirnya Masa Pencairan Kredit, masih terdapat porsi Kredit Pinjaman yang belum dicairkan, maka Pihak Kedua tidak dapat melakukan pencairan atas sisa porsi Pinjaman yang belum dicairkan tersebut.
“Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Fraksi Partai Golkar meminta penjelasan Saudara Gubernur tentang perkembangan pencairan dana Pinjaman PEN tersebut di atas, pemanfaatanya serta kinerja fisik pelaksanaannya secara rinci sesuai Lampiran Daftar Kegiatan yang ada pada Lampiran Perjanjian Pemberian Pinjaman Nomor: PERJ-115/SMI/0821,” ujarnya.
Kendati memberikan sejumlah catatan kritis, Faksi Partai Golkar menyatakan “MENERIMA” Rancangan Peraturan Daerah untuk dibahas sesuai mekanisme persidangan DPRD untuk mendapat persetujuan bersama. (HT)