Gerakan Literasi dari Rumah ke Sekolah untuk Bentuk Karakter Siswa

oleh -216 Dilihat

Oleh : Brigitha Wara Memu, S.Sos

(Guru Sosiologi SMA Negeri 1 Bajawa)

Suara-ntt.com, Kupang-Stake holder atau pemangku kepentingan yang ada di daerah ini tentu memiliki banyak cara untuk peduli dan terlibat aktif dalam gerakan literasi dan gerakan gemar membaca. Meski harus diakui bahwa usaha untuk membangun dan mengembangkan budaya literasi dan budaya gemar membaca di ini daerah bukanlah pekerjaan yang mudah atau gampang. Perlu ekstra kerja dan ekstra energi.

Di sisi yang lain dibutuhkan juga komitmen dan konsistensi dari berbagai pemangku kepentingan untuk menggalang keterlibatan aktif dari pihak pemerintah; baik Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota dalam mendukung dan menyukseskan gerakan ini. Minimal ada upaya bersama untuk menggalang pemikiran sehingga tercipta sebuah gerakan sebagaimana yang pernah dicanangkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 2015 khususnya dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015, melalui kebijakan afirmatif khusus sehingga mampu menginspirasi kabupaten-kabupaten yang ada di Provinsi NTT.

Ada langkah yang sangat progresif dari Pemerintah Provinsi NTT dalam merespons gerakan literasi yakni dengan menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi NTT Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pengembangan Budaya Literasi. Perda ini “diundangkan” pada tanggal 24 Agustus 2021.

Ada sejumlah hal menarik yang perlu diketahui oleh publik terkait isi Perda Pengembangan Budaya Literasi. Misalnya di dalam Bab I Pasal 1 ayat 8 disebutkan bahwa literasi adalah kemampuan untuk memaknai informasi secara kritis sehingga setiap orang dapat mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas hidupnya.

Selanjutnya ayat 13 menyebutkan bahwa kegiatan literasi adalah untuk meningkatkan kesanggupan/kemampuan/keterampilan, serta minat dalam hal membaca dan menulis. Sedangkan dalam Pasal 6 tertulis dengan jelas terkait dimensi literasi dasar yang meliputi : literasi baca dan tulis (adalah pengetahuan dan kecakapan untuk membaca, menulis, mencari, menelusuri, mengolah, dan memahami informasi untuk menganalisis, menanggapi, dan menggunakan teks tertulis untuk mencapai tujuan, mengembangkan pemahaman dan potensi serta untuk berpartisipasi dalam lingkungan sosial); literasi numerasi (adalah pengetahuan dan kecakapan untuk bisa memperoleh, menginterpretasikan, menggunakan dan mengkomunikasikan berbagai angka dan simbol matematika untuk memecahkan masalah praktis dalam berbagai macam konteks kehidupan sehari-hari serta bisa menganalisis informasi yang ditampilkan dalam berbagai bentuk (grafik, table, bagan, san sebagainya) untuk mengambil keputusan); literasi sains (adalah pengetahuan dan kecakapan ilmiah untuk mampu mengidentifikasi pertanyaan, memperoleh pengetahuan baru, menjelaskan fenomena ilmiah, serta mengambil kesimpulan berdasarkan fakta, memahami karakteristik sains, kesadaran bagaimana sains dan teknologi membentuk lingkungan alam, intelek dan budaya, serta kemauan untuk terlibat dan peduli dalam isu-isu yang terkait dengan sains); literasi digital (adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi dan memanfaatkan secara sehat, arif, bijak, cerdas, cermat, tepat dan patuh hokum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari); literasi finansial (adalah pengetahuan dan kecakapan untuk mengaplikasikan pemahaman agar dapat membuat keputusan yang efektif dalam konteks financial untuk meningkatkan kesejahteraan financial baik individu maupun sosial, dan dapat berpartisipasi dalam lingkungan masyarakat); dan literasi budaya dan kewargaan (adalah pengetahuan dan kecakapan dalam memahami dan bersikap terhadap kebudayaan Indonesia sebagai identitas bangsa) Sementara itu literasi kewargaan adalah pengetahuan dan kecakapan dalam memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara.

Konsep dan dimensi tentang budaya literasi di atas sengaja dikutip dan dijelaskan agar publik memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik dan benar. Di sisi lain, gerakan atau budaya literasi telah mengalami perluasan makna. Namun secara sederhana dan mendasar, literasi terkait dengan keaksaraan, yaitu kemampuan membaca dan menulis.

Gerakan literasi, karena itu menyasar kepada gerakan untuk menumbuhkan minat membaca dan menulis khususnya bagi anak-anak kita, tentu dengan harapan akan ada proses pembiasaan yang terus menerus, sehingga terbentuk budaya membaca dan menulis. Budaya membaca dan menulis ini akan membentuk pola berbahasa, yang menjadi basis pola berpikir teratur dan terstruktur, yang menggaransi terbentuknya jati diri, sikap dan perilaku yang berkarakter. Namun untuk memiliki pola berbahasa yang baik dan benar maka kemampuan berbahasa itu dikembangkan melalui latihan, mulai dari mengenal huruf, kata, kalimat dan merangkai kalimat menjadi pengertian.

Pola berbahasa inilah yang menjadi basis berpikir seseorang dan membentuk pola berpikir. Karena itu setiap manusia yang berpikir selalu dalam bahasa. Bahasalah yang memungkinkan seseorang mampu berpikir. Semakin bagus kemampuan berbahasanya, semakin bagus pula kemampuan berpikirnya. Semakin teratur pola berbahasanya, semakin teratur pula pola dan struktur berpikir seseorang.

Filsuf Martin Heidegger mengatakan bahwa bahasa adalah “rumah sang ada.” Kita memang berada dalam rumah bahasa; hidup oleh dan karena bahasa. Tanpa bahasa kita tak bisa berbuat apa-apa, tak bisa berkomunikasi, tak bisa berpikir dan bekerja untuk menghasilkan sesuatu. Bahasa sejatinya, berperan sangat penting. Namun bahasa yang baik dan benar, teratur dan terstruktur dibentuk melalui proses berkanjang yang lama; membaca dan menulis secara terus-menerus. Bahasa inilah yang membentuk struktur berpikir dan secara dialektis menghasilkan kembali bahasa yang semakin baik dan teratur.

Ada hubungan yang dialektis antara bahasa dan berpikir. Pola bahasa dan pola pikir itu, pada saat bersamaan membentuk pola sikap dan tindakan, perilaku yang baik, yang boleh dikatakan sebagai perilaku yang berkarakter. Sehingga bahasa dan pola berpikir seseorang yang berkarakter menandai sikap dan perilakunya yang berkarakter pula.

Gerakan literasi diharapkan menyasar ke inti budaya kita, ke rumah bahasa kita; sebagai sarana membentuk pola pikir, sikap dan perilaku yang berkarakter. Dalam bingkai inilah dan dengan bercermin pada rendahnya budaya literasi kita, serentak masih kurangnya geliat untuk membangun gerakan literasi yang kuat, komit dan peduli maka sudah saatnya semua pemangku kepentingan yang ada di daerah ini, mengambil bagian secara aktif sesuai peran dan tugas masing-masing.

Membangun budaya literasi secara sederhana dapat dimulai dari dalam rumah, di lingkungan tempat tinggal, lingkungan tempat kerja dan di lingkungan sekolah. Gerakan literasi sekolah mulai digalakkan di setiap sekolah; yang diikuti dengan gerakan di lingkungan tempat tinggal, di lingkungan kerja, di desa-desa dan di kampung-kampung, Keikhlasan untuk menyumbang buku-buku bacaan yang bermutu amat dibutuhkan demi suksesnya gerakan literasi di ini daerah.

Jika semua pihak khususnya orangtua dan sekolah tergerak hati, pikiran dan budinya untuk mengambil bagian dalam mendukung dan menyukseskan gerakan literasi dan gerakan membaca di ini daerah maka akan tercipta dan terbentuk karakter anak didik (siswa) yang memiliki pola berbahasa yang baik dan benar. Mari kita dukung gerakan literasi dan gerakan gemar membaca dari rumah hingga sekolah demi masa depan anak-anak kita. Mereka adalah generasi penerus yang dapat diandalkan tatkala memiliki karakter yang terbentuk dari kebiasaan atau budaya membaca dan menulis. Semoga ! (*)