Suara-ntt.com, Kupang-Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Timur (NTT) telah ekspose terkait Permohonan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam perkara atas nama terdakwa Marthinus Liu yang didakwa melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP. Ekspose ini diajukan oleh Kejaksaan Negeri Timur Tengah Selatan.
Ekspose dipimpin oleh Nanang Ibrahim Soleh, Direktur Orang dan Harta Benda pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI, dan diikuti oleh Zet Tadung Allo, Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur, serta pejabat lainnya secara virtual melalui Zoom. Dalam kesempatan ini, Kepala Kejaksaan Negeri Timur Tengah Selatan, H. Sumantri memaparkan kasus tersebut bersama timnya.
Sebelumnya, tahap II proses perkara ini telah dilaksanakan pada 2 Oktober 2024, disusul oleh upaya perdamaian antara terdakwa Marthinus Liu dan korban Yufri H. Pay pada 3 Oktober 2024. Perdamaian tersebut dihadiri oleh kedua belah pihak, penyidik, serta tokoh masyarakat dan agama.
Setelah mendengarkan pemaparan tersebut, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum menyetujui penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. Persetujuan ini diberikan karena perkara ini memenuhi syarat formil dan materil yang diatur dalam Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020, termasuk fakta bahwa terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana dan adanya perdamaian dengan korban. Selain itu, terdakwa berperilaku baik dan aktif dalam kegiatan sosial.
Dengan persetujuan ini, perkara atas nama Marthinus Liu resmi dihentikan melalui mekanisme keadilan restoratif. Kejaksaan Tinggi NTT akan segera mengirimkan surat persetujuan, disusul dengan pembebasan terdakwa dari tahanan rumah.
Kepala Kejaksaan Tinggi NTT, Zet Tadung Allo menekankan pentingnya penerapan keadilan restoratif.
Menurutnya, pendekatan ini tidak hanya memberi kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki diri, tetapi juga memperkuat hubungan sosial dengan mengutamakan perdamaian dan pemulihan kerugian korban.
“Keadilan restoratif adalah wujud nyata penegakan hukum yang humanis dan solutif. Dengan adanya perdamaian, kita tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga menciptakan rekonsiliasi di tengah masyarakat,” ujarnya.
Zet Tadung Allo menambahkan bahwa mekanisme ini penting untuk terus dikembangkan, terutama dalam kasus-kasus ringan, agar dapat memberikan manfaat yang lebih luas bagi pelaku, korban, dan masyarakat.
Hingga bulan Oktober 2024, Kejaksaan Tinggi NTT telah menyelesaikan 33 perkara melalui mekanisme keadilan restoratif, termasuk dua perkara di Kejari Timur Tengah Selatan. Penghentian penuntutan ini mencerminkan komitmen Kejaksaan Tinggi NTT dalam menegakkan hukum secara humanis demi terciptanya keadilan yang inklusif. ***