Hukum dan Keadilan atau hanya Semboyan Retoris?

oleh -193 Dilihat

Oleh : Verry Guru (ASN Pemprov NTT)

Suara-ntt.com, Kupang-SETIAP tahun di bulan Juli, selalu diperingati dan dirayakan secara meriah momentum Hari Ulang Tahun (HUT) Bhayangkara RI dan Korps Adhyaksa. Tanggal 1 Juli kita memperingatan HUT ke 78 Bhayangkara 2024 tema bertajuk Polri Presisi Mendukung Percepatan Transformasi yang Inklusif dan Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas. Sedangkan tanggal 22 Juli, diperingati Hari Bhakti Adhyaksa ke 64 tahun 2024 yang mengusung tema Akselerasi Kejaksaan untuk Mewujudkan Penegakan Hukum Moderen Menuju Indonesia Emas.

Jika ditelisik dari tema yang diusung dua lembaga hukum (khususnya Polri dan Kejaksaan) ini nampak ada spirit atau semangat keterbukaan dan kejujuran untuk memberi yang terbaik kepada masyarakat. Serentak dengan itu, ada trust atau kepercayaan yang tinggi dari maysarakat terhadap kinerja atau capaian penegakkan hukum di republik ini termasuk di Provinsi NTT.

Karena itu, harus diakui bahwa ada begitu banyak prestasi atau hasil yang perlu diapresiasi dari masyarakat yang ditujukan kepada institusi Polri maupun untuk korps Adhyaksa termasuk di daerah ini.  Nah, artikel yang sederhana ini sekadar ‘catatan pinggiran” yang kiranya berkenan untuk dipersembahkan kepada segenap jajaran korps kejaksaan yang berada di bawah panji Adhy, Setya, Wicaksana, khususnya aparat kejaksaan di NTT yang kini diarsiteki Bapak Zet Tadung Allo, SH, MH.

Secara normatif upaya penegakkan hukum (rule of law) dan penegakkan keadilan (rule of justice) di republik dan daerah ini; juga diletakan di atas pundak para jaksa. Karena itu, kualitas dan performance seorang jaksa dalam menangani sebuah perkara (pidana khusus maupun pidana umum dan pidana lainnya) akan terus menjadi  perhatian dan sorotan publik. Jajaran kejaksaan khususnya para jaksa harus terus diingatkan dan diteguhkan tentang apa sesungguhnya tugas, hak, dan kewajiban yang melekat dalam dirinya.

Di kutip dari Undang-Undang RI Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Bab III, Tugas dan Wewenang, Bagian Pertama, Umum, Pasal 30 menyebutkan bahwa di bidang pidana, kejaksanaan mempunyai tugas dan wewenang: a. melakukan penuntutan, b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat, d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang,  melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Pasal 32 menyebutkan bahwa di samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang–undang ini, kejaksanaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Sedangkan dalam Pasal 33, dalam meksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya.

Dengan mengingat kembali, tugas dan wewenang yang dimiliki para jaksa sebagaimana diamanatkan dalam UU No 16/2004 di atas maka yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam tataran implementasi rule of law dan rule of justice di negeri dan daerah ini adalah kecerdasan dan keberanian serta integritas moral yang dimiliki oleh para jaksa. Hal ini bukan berarti bahwa para jaksa yang ada di lingkup Kejati NTT selama ini tidak atau belum memiliki kecerdasan, keberanian dan  integritas moral yang baik. Tidak! Apalagi secara tegas dan jelas Jaksa Agung RI, Bapak Prof. ST. Burhanuddin telah mengeluarkan tujuh Perintah Harian. Pertama, aktualisasikan pola hidup yang merefleksikan nilai Tri Krama Adhyaksa baik dalam pelaksanaan tugas maupun bersosialisasi di tengah masyarakat; kedua, tingkatkan kepekaan sosial  berinterkasi dan berkomunikasi dengan  masyarakat dalam setiap pelaksanaan tugas dan wewenang serta  kehidupan bermasyarakat; ketiga, mewujudkan kesatuan pola analisis yuridis yang terstruktur dan terukur dalam setiap penyelesaian penanganan perkara; keempat, laksanakan penegakan hukum dan penyelesaian perkara secara prosedural dan tuntas; kelima, perkuat kemampuan manajerial dan administrasi sebagai sarana pendukung pelaksanaan tugas pokok  dan fungsi kejaksaan; keenam, optimalkan sinergi antar bidang  guna mewujudkan keberhasilan capaian kerja institusi; dan ketujuh jaga netralitas personil dalam menyongsong Pemilu serentak tahun 2024.

Bukan hanya tujuh perintah harian namun jajaran korps kejaksaan juga `dibentengi` dengan Trapsila Adhyaksa Berakhlak yakni: pertama, berorientasi pelayanan yaitu komitmen memberikan pelayanan prima demi kepuasan masyarakat; kedua, akuntabel yaitu bertanggungjawab atas kepercayaan yang diberikan; ketiga, kompeten yaitu terus belajar dan mengembangkan kapabilitas; keempat, harmonis yaitu saling peduli danmenghargai perbedaan; kelimaloyal yaitu berdedikasi dan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara; keenam, adaptif yaitu terus berinovasi dan antusias dalam menggerakkan serta meghadapi perubahan; ketujuh, kolaboratif yaitu membangun kerja sama yang sinergis.

Karena itu, dalam konteks implementasi rule of law dan rule of justice sesungguhnya bukan hanya merupakan satu-satunya tugas yang diemban oleh jajaran kejaksaan (para jaksa) tetapi juga merupakan tugas yang maha berat dipikul oleh hakim, polisi dan advokat. Dalam ranah penegakan hukum :  jaksa, hakim, polisi dan advokat dikenal dengan sebutan caturwangsa.

Ada asumsi atau dugaan yang berkembang di tengah masyarakat saat ini bahwa penyebab tidak terlaksananya penegakan hukum oleh caturwangsa antara lain disebabkan oleh rendahnya kualitas sumber daya aparatur khususnya dari hakim, jaksa, polisi dan advokat. Artinya pertama, tidak diindahkannya prinsip the right man on the right place; kedua, kecenderungan melemahnya komitmen mereka terhadap penegakan hukum; ketiga, belum atau tidak adanya mekanisme penegakan hukum yang baik dan modern; keempat, kuatnya pengaruhnya dan intervensi politik serta kekuasaan ke dalam dunia caturwangsa; dan kelima, yang sangat memprihatinkan adalah kuatnya tuduhan dan dugaan tentang adanya korupsi dan organized crime antaranggota caturwangsa.

Mencermati kondisi tentang pengaruh kekuasaan yang begitu besar terhadap sektor hukum, dikritik secara tajam oleh aliran Critical Legal Studies Movement (CLSM). Suatu aliran hukum yang berasal dari Amerika Serikat. Para penganut aliran CLSM ini tidak lain dari para ahli hukum kiri radikal (neo marxist) yang berhaluan aliran postmodernism yang merupakan aliran dari filsafat yang berkembang di penghujung abad ke-20 dan memasuki abad ke-21.

Salah seorang pelopor ajaran CLSM adalah Prof. Roberto Mangabeira Unger. Menurut penganut ajaran CLSM ini, anggapan kebanyakan orang bahwa antara hukum dan politik terpisah satu sama lain, dan hukum tersebut menurut mereka akan diterapkan oleh pengadilan secara adil. Hal tersebut hanyalah dianggap sebagai “mitos” belaka. Hanya utopia.

Para penganut CLSM beranggapan bahwa pada prinsipnya hukum tidak mempunyai dasar yang objektif dan tidak ada yang namanya kebenaran sebagai tempat berpijak dari hukum. Jadi hukum tidak mempunyai dasar berpijak, yang ada hanya “kekuasaan”. Karena hukum bukan berdasarkan atas kebenaran yang objektif, melainkan hanya berdasarkan atas kekuasaan, maka menurut para pembela dari gerakan CLSM, hukum hanya merupakan alat kekuasaan bagi penguasa. Yang menjadi ukuran bagi hukum bukanlah benar atau salah, bermoral atau tidak bermoral, melainkan hukum merupakan apa saja yang diputuskan dan dijalankan oleh kelompok masyarakat yang paling berkuasa.

Hukum harus ditafsirkan, yang nyatanya akan ditafsirkan menurut keinginan yang menafsirkannya, dan penafsir hukum tersebut selalu mempunyai perasaan dan kepentingannya sendiri, sehingga yang namanya “keadilan” hanya merupakan semboyan retorik yang digunakan oleh kelompok mayoritas untuk menjelaskan apa yang mereka inginkan. Keinginan pihak minoritas tidak pernah menjadi hasil penafsiran hukum dan mereka selalu menjadi ‘bulan-bulanan’ dari hukum.

Karena itu, para penganut CLSM menolak anggapan ahli hukum tradisional yang mengatakan bahwa hukum itu objektif, hukum itu sudah tertentu, dan hukum itu netral, yakni tidak memihak ke pihak tertentu. Padahal yang benar adalah bahwa hukum itu tidak pernah netral dan hakim hanya berpura-pura, atau percaya secara naif bahwa dia mengambil putusan yang netral dan tidak memihak dengan mendasari putusannya pada undang-undang, yurisprudensi atau prinsip-prinsip keadilan. Padahal, mereka selalu bias dan selalu dipengaruhi oleh ideologi, legitimasi, dan mistifikasi yang dianutnya untuk memperkuat kelas yang dominan.

Di tengah nuansa kritik dan pesimistisnya aliran CLSM ini maka kedepan sesungguhnya, perilaku para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan advokat/pengacara) sudah selayaknya berupaya untuk mengembalikan kepercayaan warga masyarakat. Dalam menjalankan tugasnya para penegak hukum sebaiknya bertanya kepada hati nurani, seperti banyak diserukan oleh ahli hukum bahwa sudah saatnya hukum dikembalikan kepada akar moralitas dan religiusnya. Bukankah seorang filsuf yang bernama Taverne pernah menyatakan: “berikanlah saya seorang jaksa yang jujur dan cerdas, berikanlah saya seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka dengan undang-undang yang paling buruk pun, saya akan menghasilkan putusan yang adil.”

Di tikungan ini kita semua tetap percaya dan harus optimis seraya menyampaikan apresiasi dan proficiat korps Adhyaksa yang merayakan HUT ke 64. Semoga dari hari ke hari masyarakat khususnya para pencari dan pejuang keadilan terus mengenang dan mencintai para jaksa (termasuk aparat penegak hukum lainnya) yang dengan hati nurani bersih dan tulus mengabdikan dirinya bagi upaya penegakkan hukum (rule of law) dan penegakkan keadilan (rule of justice) di negeri dan daerah yang kita cintai ini. ***