Suara-ntt.com, Kupang-Polemik Hutan Besipae di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) semakin memudar dari perhatian publik. Euforia Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan minimnya sorotan media membuat isu ini nyaris terlupakan. Padahal, dampaknya terhadap masyarakat, khususnya perempuan, masih terasa hingga hari ini.
Sejarah Hutan Besipae: Pembangunan yang Kontradiktif
Sejarah Hutan Besipae mencerminkan paradoks pembangunan. Pada 1982-1987, pemerintah provinsi memberikan izin kepada pihak Australia untuk mengembangkan proyek ternak terpadu di kawasan ini. Namun, setelah kontrak berakhir, pengelolaan diambil alih oleh pemerintah dengan program rehabilitasi hutan, seperti Gerakan Rehabilitasi Hutan Nasional (GERHAN).
Sayangnya, program ini justru menghancurkan 1.050 hektare hutan, menurut laporan WALHI NTT. Pembabatan hutan dan intensitas penggembalaan ternak merusak kelestarian kawasan dan memicu konflik antara pemerintah dan masyarakat adat Besipae.
Pemerintah mengklaim lahan tersebut sebagai milik negara, sementara masyarakat adat menegaskan bahwa tanah itu adalah warisan leluhur mereka. Konflik ini berujung pada pengusiran puluhan keluarga dari kawasan tersebut, disertai intimidasi dan kekerasan.
Perempuan Besipae: Dari Trauma hingga Perlawanan
Dampak konflik di Besipae sangat dirasakan perempuan. Mereka menghadapi trauma akibat pengusiran dan intimidasi, sekaligus memikul beban menjaga kebutuhan keluarga. Mama Damaris, salah satu pemimpin perempuan di Besipae, menjadi simbol perjuangan. Ia bersama kelompok perempuan menggelar aksi untuk mendesak pemerintah mengakui hak masyarakat adat, mengubah kebijakan penguasaan hutan, dan memulihkan akses perempuan terhadap hasil hutan.
Namun, perjuangan mereka dibayangi trauma. Intimidasi dan kenangan kekerasan membuat banyak perempuan takut masuk ke hutan. Mereka juga harus berjuang mencari penghidupan dengan sumber daya yang terbatas.
Beban Ganda di Tengah Konflik
Selain melawan ketidakadilan, perempuan Besipae menghadapi kesulitan ekonomi. Dengan akses terbatas, mereka mencari nafkah melalui ekonomi kreatif, seperti menjual hasil hutan dan membuka usaha kecil. Pendapatan ini sering kali tidak mencukupi kebutuhan keluarga.
Masalah lain adalah sulitnya akses air bersih dan gizi anak-anak. Air harus dibeli dari daerah lain dengan harga mahal, sehingga memengaruhi kesehatan keluarga, terutama anak-anak yang rentan kekurangan gizi.
Mempertanyakan Komitmen Pemerintah
Hingga kini, desakan perempuan Besipae kepada pemerintah belum mendapat tanggapan signifikan. Mereka meminta kejelasan atas janji pemerintah terkait penyediaan tanah dan tempat tinggal bagi warga terdampak.
Namun, kebijakan yang cenderung monopoli terus memperburuk konflik. Masyarakat adat, terutama perempuan, semakin terpinggirkan dari akses dan hak atas tanah mereka.
Akhir dari Beban Perempuan Besipae?
Pemerintah perlu segera mengubah pendekatan, mendengarkan suara masyarakat adat, dan menciptakan kebijakan yang berkeadilan. Hutan Besipae seharusnya menjadi simbol harmoni antara pembangunan dan keberlanjutan, bukan saksi bisu konflik dan penderitaan.
Selama hak masyarakat adat belum diakui, perempuan Besipae terus memikul beban besar, baik di rumah maupun di ruang publik. Jika pemerintah tidak bertindak, luka Besipae akan tetap menjadi catatan kelam pembangunan di NTT. ***