Suara-ntt.com, Kupang-Mantan Direktur Utama Bank NTT, Izhak Edward Rihi, mempertanyakan beredarnya informasi bahwa kasasi yang dia ajukan ke Mahkamah Agung (MA) telah ditolak. Informasi ini ramai beredar di media sosial dan grup WhatsApp, namun Izak menegaskan bahwa hingga kini belum ada pemberitahuan resmi dari Pengadilan Negeri (PN) Kupang terkait putusan tersebut.
“Saya heran, ada beredar putusan MA yang menyatakan kasasi saya ditolak. Informasi ini disebarkan oleh kuasa hukum Bank NTT. Namun setelah saya cek ke pengadilan, putusan itu belum ada,” ujar Izhak kepada wartawan, Selasa, 24 Desember 2024.
Dalam salinan putusan yang beredar, tercantum bahwa perkara nomor 4725 K/PDT/2024 telah diputus pada 16 Desember 2024 dengan amar “TOLAK” oleh MA. Perkara tersebut dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum (PMH) dan saat ini masih dalam proses minutasi oleh majelis hakim.
Latar Belakang Sengketa
Izak sebelumnya menggugat seluruh pemegang saham Bank NTT setelah dirinya diberhentikan secara sepihak dari jabatan Direktur Utama. Gugatan tersebut sempat dikabulkan oleh PN Kupang, namun kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Kupang atas permintaan para pemegang saham.
Tidak puas dengan putusan PT Kupang, Izak mengajukan kasasi ke MA dengan alasan bahwa putusan tersebut mengabaikan bukti akta Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB) yang tidak mencantumkan alasan pemberhentian dan kesempatan membela diri. Hal tersebut dinilainya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
“Ini bukan soal menang atau kalah, tetapi soal keadilan hukum. Saya mencari kebenaran atas tindakan pemecatan yang dilakukan secara sepihak,” tegas Izak.
Pertanyakan Kebocoran Informasi
Izak juga menilai janggal bagaimana kuasa hukum tergugat bisa lebih dahulu mengetahui isi putusan yang belum diumumkan secara resmi.
“Kalau memang benar putusan itu sudah ada, dari mana kuasa hukum mendapatkan informasi tersebut? Sampai hari ini, belum ada pemberitahuan resmi dari pengadilan. Jika ini adalah kebocoran, kami akan melaporkannya ke Komisi Yudisial (KY) untuk diproses lebih lanjut,” katanya.
Menurut Izak, penyebaran informasi yang belum resmi dapat memengaruhi proses hukum yang sedang berjalan dan mencederai kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
Kuasa Hukum Bank NTT: Data Diambil dari Web MA
Kuasa hukum Bank NTT, Apolos Djara Bonga, membenarkan adanya informasi tersebut dengan menyatakan bahwa data diperoleh dari situs web resmi MA.
“Benar, informasi itu diambil dari Web Mahkamah Agung,” ujarnya singkat.
Pemberhentian Dinilai Tidak Sah
Lebih lanjut, Izak menegaskan bahwa dirinya menolak keputusan pemberhentian tersebut karena dianggap melanggar prosedur hukum yang berlaku. Ia merujuk pada Akta RUPSLB No. 18 tertanggal 6 Mei 2018, yang menurutnya tidak memuat agenda pemberhentian, alasan pemberhentian, serta tidak memberikan dirinya kesempatan untuk membela diri.
Izak menekankan bahwa berdasarkan prinsip hukum acara perdata, akta autentik merupakan alat bukti sempurna yang mengikat secara hukum atas kebenaran materiil yang tercantum di dalamnya.
“Ketiadaan alasan pemberhentian dalam akta tersebut menjadi bukti kuat bahwa prosedur pemberhentian tidak dijalankan sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” tegasnya.
Klarifikasi Soal Hak Gaji dan Jabatan Lain
Menanggapi isu bahwa dirinya telah menerima gaji selama 11 bulan menjabat dan mencalonkan diri pada jabatan lain, Izak menegaskan bahwa hal tersebut tidak dapat diartikan sebagai bentuk persetujuan atas pemberhentiannya.
“Tidak ada bukti tertulis yang menyatakan saya menyetujui atau tidak keberatan atas pemberhentian tersebut. Justru adanya gugatan ini membuktikan saya menolak pemberhentian yang dilakukan dengan melanggar ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas dan Anggaran Dasar Bank NTT,” jelasnya.
Peringatkan Dampak pada Sistem Hukum
Izak memperingatkan bahwa mengabaikan akta autentik dalam kasus ini berpotensi merusak sistem hukum perdata di Indonesia.
“Kalau ini dibiarkan, maka siapa saja yang memiliki sertifikat tanah, akta nikah, atau dokumen resmi lainnya bisa kehilangan haknya hanya karena ada keterangan saksi tanpa bukti tertulis. Ini bisa merusak tatanan hukum perdata kita,” tutupnya.
Kasus ini diharapkan menjadi perhatian serius dalam penegakan supremasi hukum di Indonesia, dengan menegaskan bahwa akta autentik tetap menjadi alat bukti utama yang diakui dan dihormati dalam sistem peradilan. ***