Site icon Suara NTT

Kebenaran Ilahi versus Kebenaran Insani sebuah Refleksi Paskah

Oleh : Verry Guru
Mahasiswa Pascasarjana IAKN Kupang

Suara-ntt.com, Kupang-UMAT Kristiani sejagat baru saja merayakan dan memestakan peringatan kisah sengsara Tuhan Yesus, kematian-Nya di kayu salib dan kebangkitan-Nya dari alam maut. Dari sekian banyak bukti yang menghebohkan dunia mengenai kebangkitan Tuhan Yesus, tidak ada yang lebih menghebohkan dibanding penampakan diri Yesus di hadapan murid-murid-Nya.

Kita diberitahukan bahwa Ia menampakkan diri-Nya pada malam yang sama, “hari pertama minggu itu” (Yohanes 20:19). Pada suatu hari Yesus menampakkan diri-Nya kepada Simon Petrus (Lukas 24:34) dan kepada kedua murid-Nya di Emaus (Lukas 24:l3). Pada saat murid-murid-Nya sedang berkumpul di ruang tertutup dan pintu telah ditutup rapat-rapat “karena takut kepada orang-orang Yahudi”. Tidak ada baut yang longgar atau pintu yang terbuka engselnya, ketika Yesus tiba-tiba berdiri di hadapan mereka. Tidak heran bahwa mereka terkejut seperti melihat “hantu” (Lukas 24:37). “Damai sejahtera bagi kamu,” salam Yesus kepada murid-murid-Nya (Yohanes 20:21). Kemudian, Yesus menunjukkan tangan dan lambung-Nya kepada mereka untuk membuktikan identitas-Nya. Bekas-bekas luka itu akan selalu ada pada-Nya. Apa yang semula merupakan suatu tanda kekalahan, telah berubah menjadi meterai kemenangan yang abadi.

Tidak heran bahwa murid-murid Yesus bersukacita melihat Dia, sebab mereka bukan hanya melihat Dia dengan mata mereka sendiri, tetapi juga menyadari kebenaran tentang kebangkitan Yesus, sama seperti yang dialami Yohanes di kubur Tuhan Yesus. Tetapi, Tomas “… tidak ada bersama-sama dengan mereka, ketika Yesus datang ke situ (Yohanes 20:24b)”. Ketidakpercayaannya sedikit berbeda dari yang lain. Murid-murid Yesus yang lain telah melihat Dia dengan mata mereka sendiri, dan Tomas menuntut perlakuan yang sama. Ia berkata bahwa, “Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya (Yohanes 20:25b)”. Maka, Tomas tetap kesepian dan bersedih hati selama delapan hari.

Pada hari Minggu berikutnya murid-murid Yesus sedang berkumpul di tempat yang sama dan Tomas sedang bersama-sama dengan mereka. Sekali lagi, pintu telah ditutup rapat-rapat. Namun, Yesus sekali lagi menampakkan diri-Nya secara tiba-tiba. Kali ini, Ia berbicara kepada Tomas. William Hendrickson menulis bahwa untuk setiap (permintaan Tomas) Yesus memberikan satu perintah. Tomas berkata seminggu sebelumnya: “(Aku harus) melihat bekas paku pada tangan-Nya.” Yesus mengatakan hari itu, “Lihatlah tangan-Ku.” Tomas juga mengatakan, “(Aku harus) mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu.” Perintah Yesus kedua, “Taruhlah jarimu di sini.” Tuntutan Tomas yang ketiga, “Dan (aku harus) mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya.” Kata Yesus, “Ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku.” (Yohanes 20:27).

Seminggu sebelumnya Tomas berkata, “Aku tidak akan percaya”. Yesus berkata pada hari itu, “Jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah.” Apakah Tomas sungguh-sungguh memeriksa tubuh Yesus ? Tampaknya, Tomas jelas terperanjat dan terpana, tidak memerlukan lagi bukti melebihi yang telah dilihatnya. Pengakuannya melebihi kata-kata apa pun: “Tuhanku dan Allahku”. Kepercayaan Tomas bukannya kurang berarti, meski didasarkan pada apa yang telah dilihatnya. Tetapi, Yesus kemudian menekankan kebahagiaan bagi mereka yang percaya meski tidak beroleh konfirmasi melalui penglihatan (Yohanes 20:29). Inilah esensi kebenaran Ilahi tentang Kebangkitan Tuhan Yesus dari alam maut.

Sedangkan dimensi kebenaran insani dapat dipahami pertama, sebagai korespondensi antara pernyataan dan kenyataan. Kebenaran sebagai korespondensi itu mengandaikan fakta yang stabil yang dengannya pernyataan-pernyataan dicocokkan. Apalagi di ruang digital pesan-pesan itu mengalir dan berubah sangat cepat. Fakta pun kehilangan stabilitasnya karena tergerus oleh komentar-komentar yang tidak berhenti, sehingga berbagai pernyataan itu tidak pernah cocok dengannya.

Kedua, kebenaran juga dipahami sebagai koherensi internal pernyataan-pernyataan yang sesuai dengan kaidah-kaidah logis. Dalam komunikasi digital kebenaran sebagai koherensi itu juga sulit disampaikan. Di tengah-tengah cepatnya arus konten-konten digital, entah itu teks, gambar, atau film, sensasi lebih penting daripada koherensi, dan sensasi diperoleh justru lewat inkoherensi sejauh inkoherensi itu dapat memprovokasi sentimen atau emosi.
Ketiga, kebenaran juga dipahamani sebagai persetujuan bersama atas suatu pernyataan. Kebenaran sebagai konsensus tersebut mengandaikan diskursus rasional yang konsisten untuk menemukan konsensus, tetapi konsistensi diskursif seperti itu tidak mungkin ketika diskontinuitas menandai aliran isi serial informasi yang fragmentaris.
Yang tersisa-pengertian keempat tentang kebenaran-adalah kebenaran performatif yakni kebenaran itu dibuat oleh yang memiliki otoritas atau kompetensi dengan membuat pernyataan. Kebenaran performatif inilah yang berlaku dalam komunikasi digital, karena di dalam komunikasi digital kebenaran lebih diciptakan daripada ditemukan. Serial hoaks yang disebarkan terus menerus secara massif akan berubah menjadi kebenaran. Hoaks mendapat status epistemis untuk menuntun praktik. Dalam arti ini ‘kebenaran’ hoaks berciri performatif, yaitu dibuat real lewat tindakan digital posting, chatting, uploading, dan lain sebagainya (F. Budi Hardiman, jurnal Manusia dalam Prahara Revolusi Digital).

Harus diakui bahwa revolusi industri juga meninggalkan persoalan yang berkaitan dengan hilangnya nilai-nilai sosial humaniora. Generasi milenial, generasi yang lahir pada sekitar tahun 1980-2000an, telah menunjukkan aneka gejala degradasi mental. Gaya hidup konsumerisme, kebebasan yang tanpa batas, serta hilangnya perilaku etis di media sosial adalah serangkaian contoh dari degradasi tersebut. Rhenald Kasali (Khasali, 2018) menyebut milenial sebagai generasi strawberry, yang digambarkan sebagai generasi yang menarik, namun rapuh karena tidak memiliki mentalitas dan nilai-nilai yang kuat. Ini menjadi keprihatinan kita bersama termasuk institusi pendidikan dan institusi gereja.
Momentum dan spirit Paskah yang setiap tahun diperingati dan dirayakan oleh umat Kristiani di seluruh dunia senantiasa memberi inspirasi dalam mengisi kehidupan di dunia yang fana ini. Hal-hal baik harus terus ditebar untuk meneguhkan persaudaraan dan rasa solidaritas antar sesama anak manusia. Sehingga hidup dan kehidupan ini sungguh bermakna dan bernilai bagi kemanusiaan kita.
Tuhan Yesus…
Jika kami kehilangan harapan
Tolong ingatkan kami bahwa rencanaMu lebih baik dari mimpi kami. Surrexit Dominus Vere : Sungguh Tuhan telah Bangkit ! (*)

Exit mobile version