Suara-ntt.com, Kupang-Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (Kejati NTT) kembali menunjukkan komitmennya dalam menerapkan pendekatan keadilan restoratif pada Senin,28 Oktober 2024, pukul 09.00-10.00 WITA yang berlangsung ekspose permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif untuk lima perkara pidana yang diajukan oleh Kejaksaan Negeri di wilayah NTT.
Ekspose dilakukan secara virtual dari Ruang Rapat Kepala Kejaksaan Tinggi NTT, dipimpin oleh Direktur Orang dan Harta Benda Jaksa Agung Muda Pidana Umum, Nanang Ibrahim Soleh, S.H., M.H.
Lima terdakwa yang diajukan dalam permohonan keadilan restoratif ini adalah:
1. Frangky Nenobais alias Feky dari Kejari Kota Kupang, terkait pelanggaran UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Pasal 44 Ayat 1).
2. Fransiskus Ciku Derosari alias Ciku dari Kejari Flores Timur, atas pelanggaran Pasal 351 Ayat (1) KUHP.
3. Maksimus Taghi alias Meks dari Kejari Ngada, terkait pelanggaran Pasal 351 Ayat (1) KUHP.
4. Paulus Henri Sina alias Hen dari Kejari Sikka, atas pelanggaran UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Pasal 44 Ayat 1).
5. Alexander Nahak alias Alex dan Vinsensius Fernandes Seran alias Vinsen dari Kejari Belu, terkait pelanggaran Pasal 351 Ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Ekspose ini turut dihadiri oleh Kepala Kejati NTT, Zet Tadung Allo, S.H., M.H., Wakil Kepala Kejati NTT, Ikhwan Nul Hakim, S.H., Asisten Tindak Pidana Umum Kejati NTT, Mohammad Ridosan, S.H., M.H., serta jajaran Kepala Seksi, Jaksa Fungsional, dan Kasi Penerangan Hukum Kejati NTT.
Kajati NTT Tekankan Keadilan yang Inklusif
Dalam pernyataannya, Kepala Kejati NTT, Zet Tadung Allo, S.H., M.H., menegaskan bahwa penerapan keadilan restoratif sangat penting untuk mencapai keadilan yang menyeluruh di NTT. “Keadilan restoratif memberi ruang bagi para pihak untuk berdamai, memulihkan hubungan, dan memberikan kesempatan bagi pelaku untuk bertanggung jawab serta memperbaiki diri. Ini adalah bentuk keadilan yang bukan hanya represif, tetapi juga bertujuan mencegah tindak pidana di masa depan, menjaga harmoni sosial, dan mengakomodasi nilai-nilai lokal,” ujarnya.
Kajati NTT menambahkan, pendekatan ini juga menjadi solusi bagi penumpukan perkara di pengadilan dan mengurangi beban proses hukum yang panjang. “Melalui penyelesaian di luar pengadilan ini, masyarakat NTT mendapatkan keadilan yang tidak hanya terpaku pada hukuman, namun juga pada pemulihan rasa keadilan secara menyeluruh,” tambah Zet Tadung Allo.
Proses Perdamaian dan Pertimbangan Restoratif
Dalam setiap perkara yang diajukan, telah dilaksanakan Tahap II dan perdamaian antara terdakwa dan korban. Proses ini melibatkan keluarga, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, melalui Direktur Orang dan Harta Benda, menyetujui penghentian penuntutan pada lima perkara tersebut setelah memenuhi syarat formil dan materiil, antara lain:
Terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana.
Tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah lima tahun.
Adanya kesepakatan damai antara terdakwa dan korban, dibuktikan dengan dokumen perdamaian sesuai ketentuan RJ-14, RJ-18, dan RJ-27.
Respon positif masyarakat terhadap penghentian penuntutan.
Hubungan keluarga antara terdakwa dan korban dipertahankan untuk menjaga keutuhan keluarga.
Kepala Kejati NTT akan mengirimkan surat persetujuan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif (RJ-34) melalui Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) sebagaimana diatur dalam Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor 01/E/EJP/02/2022.
Komitmen Keadilan Humanis di NTT
Dengan disetujuinya penghentian penuntutan atas lima perkara ini, hingga akhir Oktober 2024, Kejati NTT telah menyelesaikan 39 perkara melalui mekanisme keadilan restoratif. Hal ini memperlihatkan kesungguhan Kejati NTT dalam mengedepankan pendekatan humanis dan inklusif untuk mencapai keadilan yang lebih merata di tengah masyarakat Nusa Tenggara Timur. ***