Site icon Suara NTT

Koq Bisa!!! Norma Chandra Korban Kasus KDRT, Kini jadi Tersangka

Korban Ibu Norma Hendriana Chandra Didampangi Kuasa Hukum Norma Hendriana Chandra, George Nakmofa dan Ketua Forum Komunikasi Pemerhati Perjuangan Hak-Hak Perempuan dan Anak Kota Kupang, Maria Fatima Hadjon Bethan pada Senin, 12 September 2022. (Foto Hiro Tuames).

Suara-ntt.com, Kupang-Polres Kupang Kota menetapkan ibu Norma Hendriana Chandra (70) tahun sebagai tersangka dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada 9 September 2022.

Ia ditetapkan karena mendorong anaknya  bernama Christin Natalia Chandra (40) tahun hingga jatuh dan menyebabkan tangannya mengalami luka robek sehingga mendapat delapan jahitan.

Dia menceritakan awal kejadian kasus KDRT yang menimpa dirinya pada bulan November 2021 lalu. Dimana anaknya bernama Christin Natalia Chandra (40) tahun melakukan kasus Kekarasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap dirinya. Kasus itu sudah dilaporkan ke Polsek Kelapa Lima dan sudah diproses serta menetapkan Christin Natalia Chandra sebagai tersangka karena berkasnya sudah di P21 dan disidangkan di Pengadilan Negeri Kupang.

Namun di lain pihak kemudian anaknya Christin kembali melaporkan ibunya Norma Hendriana Chandra di Polres Kupang Kota karena kasus KDRT pada hari yang sama hanya beda jam.

“Anak saya Christin kemudian melapor balik katanya saya melakukan kasus KDRT. Padahal faktanya dia yang melakukan itu kepada saya. Dia melaporkan saya pada hari yang sama tapi jamnya yang berbeda. Saya lapor dia pada jam 06:00 WITA sore sedangkan dia lapor saya pada jam 10:00 WITA malam. Waktu saya lapor di Polsek Kelapa Lima dia juga ada dan tidak ada luka di tangannya,”katanya kepada awak media di Kupang pada Senin, 12 September 2022.

Dirinya mengaku kesal dan kecewa dengan tingkah laku anaknya Christin. Jika  waktu itu ada kasus KDRT dan menyebabkan terluka seharus yang bersangkutan juga lapor di Polsek Kelapa Lima. Karena saat itu tidak ada tanda-tanda kekerasan atau luka ditubuhnya.

“Disini saya merasa bahwa pihak kepolisian tidak cermat dalam kasus ini karena Christin duluan ditetapkan sebagai tersangka dan berkasnya sudah P21. Sedangkan saya ditetapkan sebagai tersangka dari belakang,”ungkapnya didampangi Kuasa Hukum Norma Hendriana Chandra, George Nakmofa dan Ketua Forum Komunikasi Pemerhati Perjuangan Hak-Hak Perempuan dan Anak Kota Kupang, Maria Fatima Hadjon Bethan.

Norma Chandra mengatakan, pada tanggal 15 Agustus 2022 lalu, dirinya ke Kejaksaan Negeri Kota Kupang untuk mengecek perkembangan kasusnya.

Namun di tanggal 9 September 2022, dirinya mendapat surat dari Polres Kupang Kota bahwa kasusnya sudah P21. Tanpa ada rekonstruksi dan lain-lain karena berkasnya sudah dinyatakan lengkap. Namun mirisnya waktu Jaksa Herry mengatakan berkasnya belum lengkap karena masih membutuhkan CCTV dan rekonstruksi jika memungkinkan.

“Saya sangat kecewa karena tidak pernah melakukan sama sekali tapi tiba-tiba ditetapkan sebagai tersangka. Saya merasa bahwa dari pihak kepolisian sampai pihak kejaksaan dinilai kurang cermat meneliti kasus ini sehingga dengan mudah menetapkan saya sebagai tersangka. Dan saya merasa tidak mendapatkan keadilan,”bebernya dengan penuh kesal dan kecewa.

Dikatakan, setelah dirinya ditetapkan sebagai tersangka, ia menemui Kejaksaan Negeri Kota Kupang yang menangani kasusnya.

Ternyata disana jaksa memberikan keterangan dan berkas apa yang sudah diterima dari pihak kepolisian (Polres Kupang Kota) sudah dinaikan. Dan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang diberikan pada pertama dan kedua berbeda-beda. Dimana BAP pertama berbeda dengan BAP kedua sehingga jaksa sendiri bingung. Karena pada BAP pertama disebutkan ada goresan gergaji di kaki dan tangan karena terkena palu dan gergaji. Kemudian BAP kedua terluka karena kena gergaji dan palu.

Selain itu dia jelaskan, saat ini umurnya sudah 70 tahun dan anaknya Christin baru 40 tahun. Dan secara logika tidak mungkin dirinya mampu mendorong anaknya jatuh dan menyebabkan tergores tangannya. Kemudian goresan itu lurus tidak seperti gergaji dan keterangan ini juga terdapat kejanggalan.

“Saya minta buka CCTV di Polsek Kelapa Lima untuk kita lihat apakah waktu saya lapor itu ada luka ditangannya atau tidak. Karena saat itu anak Christin juga ada. Dan jaksa juga minta itu CCTV untuk melihat kejadian sebenarnya. Selain itu ada juga CCTV yang dipasang di rumah. Dan Jaksa Hery bilang kalau memang mereka tidak kasih naik maka pihak kejaksaan minta rekonstruksi karena mau sandingkan dengan BAP yang dikirim,”jelasnya.

Kemudian dirinya pertanyakan apakah dalam satu kasus yang sama bisa ada dua penetapan yakni sebagai korban dan tersangka.

“Saya ini orang awam dan kurang mengerti soal hukum. Apakah ini kurang cermat dari jaksa dan polisi sehingga terjadi ketidakadilan kepada saya. Sebenarnya saya ini yang korban koq bisa dijadikan tersangka. Dan ini menjadi tanda tanya besar di hati saya,”ujarnya.

“Saya tidak pernah melakukan kekerasan terhadap Christian. Saya melihat dari pihak kepolisian, kejaksaan kurang teliti dan cermat serta tidak ada keadilan bagi saya sebagai korban,”tambahnya.

Lebih lanjut kata dia, dirinya menduga ada kejanggalan dalam proses tersebut. Karena secara logika orang yang umur sudah 70 tahun bisa mendorong anak umur 40 tahun sampai jatuh dan memdapat delapan jahitan.

“Saya tidak mengerti dengan hukum yang ada di negara ini. Sebenarnya saya harus dapat keadilan tapi bukan dijadikan tersangka,”ucapnya.

Dalam kesempatan itu dia juga mengungkapkan, sudah 10 bulan tidak kembali ke rumahnya karena merasa trauma (ketakutan) jika anaknya Christin tidak ditahan.

“Waktu itu kita minta pengamanan di jaksa jika Christin tidak ditahan maka saya tidak bisa pulang ke rumah saya. Kami agak kecewa karena yang bersangkutan tidak ditahan,”imbuhnya.

Sementara itu, Ketua Forum Komunikasi Pemerhati Perjuangan Hak-Hak Perempuan dan Anak Kota Kupang, Maria Fatima Hadjon Bethan mempertanyakan, alasan apa yang digunakan pihak kepolisian ketika seseorang yang menjadi korban kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) namun ditetapkan sebagai tersangka tanpa ada rekonstruksi.

“Dan itu yang membuat hati kami terluka dan tersakiti karena kasus itu. Kasus ini kami minta untuk dilakukan gelar perkara di Polda NTT. Hasilnya pihak Polda NTT meminta dan memanggil Kapolres Kupang Kota, Kapolsek Kelapa Lima, Penyidik dan semuanya dihadirkan dan hasilnya dilakukan rekonstruksi,”katanya.

“Jika memang ibu Norma pelaku KDRT kenapa tidak dilakukan gelar perkara sesuai permintaan Polda NTT dan jaksa. Ini membuat kami sangat kecewa. Yang kami harapkan cukup sudah kasus seperti ini jangan ada lagi korban seperti kasus serupa,”ungkapnya.

“Kami dari lembaga ini tidak mencampuri hak prerogatif dari aparat penegak hukum tapi terus terang kami kecewa,”ungkapnya penuh kesal.

Kemudian Kuasa Hukum Norma Hendriana Chandra, George Nakmofa menambahkan, beberapa waktu yang lalu kliennya ibu Norma mendapat surat dari kepolisian bahwa berkas perkaranya sudah dinyatakan lengkap (P21) dan akan dilimpahkan ke pihak kejaksaan.

Terkait penahanan terhadap kliennya kata George itu merupakan kewenangan dari jaksa, hakim ataupun penyidik. Namun harapan ibu Norma tidak boleh ditahan karena ada sakit dan sementara melakukan terapi akibat korban kekerasan yang dialaminya.

‘Pada prinsipanya klien kita siap menjalani hukuman. Jika dalam sidang terbukti melakukan kasus KDRT,”ungkapnya.

Dikatakan, keputusan berkas sudah dinyatakan lengkap dari hasil gelar perkara maka diminta untuk melakukan rekonstruksi. Dan ada CCTV namun kembali ke penentuan berkas ini lengkap atau tidak itu merupakan kewenangan jaksa.

“Mungkin menurut jaksa alat buktinya sudah cukup. Namun menurut ibu Norma sangat kecewa jika hal itu tidak dipenuhi.
Apakah berkas itu sudah lengkap atau belum nanti baru lihat dan dibuktikan dalam persidangan. Tapi dalam sistem administrasi kekecewaan ibu Norma itu ada,”pintanya.

Dijelaskan, pada tanggal 15 Agustus 2022 belum ada CCTV dan rekonstruksi. Kemudian di tanggal 9 September 2022 mendapat surat dari Polres Kupang Kota berkas ibu Norma Chandra sudah dinyatakan lengkap (P21).

“Dan informasi dan surat yang kami peroleh bahwa berkasnya sudah lengkap. Untuk diketahui proses rekonstruksi harus melibatkan pelaku. Kemudian rekonstruksi bukan suatu kewajiban dan itu dilakukan jika dipandang perlu untuk mencocokan keterangan-keterangan yang ada sesuai fakta,”tandasnya.

Lebih lanjut kata dia, pihaknya akan mendatangkan tenaga ahli untuk menentukan bentuk sayatan yang terjadi pada anak Christin apakah itu bergerigi atau biasa.

“Kita akan mendatangkan ahli untuk menentukan bentukan sayatan itu bentuk seperti apa apakah bergerigi atau sayatan biasa,”bebernya.

Untuk diketahui pelaku kekerasan KDRT dalam hal ini anak Christin Natalia Chandra hingga saat belum ditahan. (Hiro Tuames)

Exit mobile version