Menakar Problematika Pendidikan, Kesehatan dan Ekonomi Masyarakat NTT Masa Kini

oleh -298 Dilihat

Suara-ntt.com, Kupang-Tak dipungkiri lagi jika dilihat dari aspek pendidikan, kesehatan dan ekonomi merupakan problem mendasar bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) saat ini.

Pengamat Politik Universitas Muhammadiyah Kupang, Dr. Ahamd Atang menjelaskan masalah pendidikan sangat berkorelasi dengan Indeks Pembangunan Manusia yang masih rendah, angka partisipasi yang masih rendah dan tingginya angka putus sekolah.

Dalam rangka meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan menengah dan pendidikan luar biasa, Pemerintah Provinsi NTT sejak 2019 sampai dengan periode Juli 2023 telah menerbitkan ijin operasional pendirian sekolah baru untuk tingkat SMA sebanyak 75 sekolah, SMK 58 sekolah dan SLB 17 sekolah.

Perbaikan akses Pendidikan telah meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) penduduk usia 16-18 atau setara tingkat SMA/SMK/MA. Pada tahun 2019, APK NTT sebesar 93,08 persen dan meningkat menjadi 102,53 persen tahun 2023. Demikian pula, APM naik dari 58,89 persen di tahun 2018 menjadi 70,26 persen yang melampaui rata-rata APM nasional 68,87 persen.

Keterangan Foto; kondisi salah satu sekolah di Kabupaten TTS

Kemudian masalah kesehatan dapat dilihat dari angka stunting yang masih tinggi, gizi buruk dan angka kematian ibu melahirkan. Peningkatan derajat kesehatan masyarakat menjadi salah satu aspek penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia NTT. Pembangunan kesehatan mulai sejak dari dalam kandungan ibu.

“Kita menyadari bahwa angka stunting di NTT masih tergolong tinggi. Persentase stunting selama lima tahun berturut-turut mulai tahun 2018 sampai dengan 2023 menunjukkan tren penurunan yang besar,”kata Ahmad Atang saat dihubungi media ini melalui WhatsApp pada Minggu, 5 November 2023.

Dikatakan, pada tahun 2018, prevalensi stunting 35,4 persen atau sebanyak 81.434 balita dan menurun tajam pada pengukuran Februari 2023, yakni 15,7 persen atau 67.518 balita. Hal ini membuktikan bahwa pendekatan pencegahan dan penanganan stunting secara konvergensi melalui intervensi spesifik dan intensif berjalan efektif. Penurunan stunting secara signifikan ini tidak lepas dari kebijakan Pemerintah NTT untuk menggunakan aplikasi Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM) untuk menangani stunting dengan by name, by adress dan menolak menggunakan Survey Status Gizi Indonesia (SGSI).

Untuk diketahui Pemerintah Provinsi NTT telah melayangkan protes kepada Menteri Kesehatan tentang penggunaan pengukuran stunting dengan metode SGSI dan Kementerian Kesehatan telah menyetujui penggunaan e-PPBGM untuk menilai perkembangan stunting di NTT sebagai pengecualiannya.

Pemerintah juga terus berkomitmen untuk menekan angka kematian ibu dan anak melalui berbagai upaya seperti penguatan dan peningkatan kapasitas tenaga kesehatan, peningkatan fasilitas kesehatan dan evaluasi yang terus-menerus. Angka kematian Ibu selama tiga tahun terakhir menunjukan penurunan di mana pada tahun 2021, angka kematian ibu sebanyak 181 kasus dan tahun 2022 berjumlah 171 kasus. Sampai dengan bulan Juli tahun 2023 terdapat 74 kasus. Sementara itu, untuk kematian bayi sampai dengan bulan Juli tahun 2023 mencapai 449 kasus atau menurun dibandingkan dengan tahun 2022 yang mencapai 1.139.

Keterangan Foto; Pemberian makanan tambahan untuk Penanganan Stunting di Kota Kupang.

Sedangkan masalah ekonomi kata dia, berkaitan dengan angka kemiskinan yang masih tinggi, kesenjangan sosial dan pengangguran. Semua problem tersebut belum terselesaikan secara tuntas oleh pemerintah dahulu dan sekarang. Jika dicermati secara mendalam, maka pendekatan pembangunan selama ini menempatkan ekonomi sebagai sektor unggulan dan sebagai lokomotif untuk menggerakkan sektor pendidikan dan kesehatan.

Namun basis ekonominya tidak jelas pada sektor pertanian, perikanan atau peternakan. Disamping itu pendekatannya apakah membangun kesatuan ekonomi untuk seluruh wilayah di NTT atau pembangunan ekonomi bersifat sektoral sesuai potensi daerah masing-masing.
Oleh karena itu, harus dilakukan redefinisi ulang soal peta masalah dan arah pembangunan ke depan.

Lebih lanjut kata dia, belajar dari realitas yang ada selama ini ternyata pendekatan ekonomi telah gagal menciptakan akselerasi maka saatnya harus digeser ke sektor lain sebagai unggulan.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tingkat pertumbuhan ekonomi NTT pada Triwulan II Tahun 2023 mencapai 4,04 persen (YoY). Sebelumnya, di masa pandemi COVID-19, pertumbuhan ekonomi sempat mengalami kontraksi dengan pertumbuhan minus 2,28. Sementara itu, PDRB per kapita pada tahun 2022 sebesar Rp. 21,7 juta, meningkat dibanding tahun 2018 sebesar Rp. 18,42 juta.

Pertumbuhan ekonomi NTT berlangsung dalam inflasi yang dapat dikendalikan, di mana pada Juli 2023 inflasi 3,88 persen (yoy), berada di rentang sasaran inflasi 3 ± 1 persen. Hal ini diikuti dengan persentase kemiskinan yang menurun dari 21,35 persen tahun 2018 menjadi 19,96 persen pada Maret 2023 atau menurun 1,39 persen.

Seiring dengan itu, tingkat pemerataan pembangunan yang diukur dari indeks gini yakni 0,355 di tahun 2019 menjadi 0,325 pada periode Maret 2023 dan lebih rendah dari rata-rata nasional 0,388. Selain itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) juga mengalami peningkatan sebesar 1,51 poin yakni 64,39 pada tahun 2018 menjadi 65,90 di tahun 2022.

Kenaikan itu disebabkan oleh kenaikan usia harapan hidup dari 66,38 tahun 2018 menjadi 67,47 tahun 2022; harapan lama sekolah juga meningkat lebih baik pada tahun 2022 yakni 7,70 dibanding 7,30 di tahun 2018. Demikian pula angka pengeluaran per kapita naik menjadi Rp 7,87 juta pada tahun 2022 dibanding tahun 2018 sebesar Rp 7,56 juta.

Dia memaparkan banyak studi menunjukan bahwa pembangunan pendidikan memiliki keunggulan tiga kali lipat dibandingkan sektor ekonomi dan kesehatan, sehingga NTT dapat mengadopsi konsep pendidikan untuk mempercepat pembangunan.

Pilihan prioritas sangat tergantung pada kemauan pemerintah terpilih nanti. Namun semua elemen perlu memberikan dorongan kepada pemerintah untuk memulai sesuatu yang baru agar bisa diukur capaiannya.

“Memang diakui bahwa menggerakkan sumber daya manusia melalui pendidikan membutuhkan waktu jangka panjang, namun jenis pendidikan sebagai life skill perlu didorong untuk jangka pendek”.

“Dengan begitu, kita berharap NTT akan bangkit dengan sumber daya manusia unggul di masa depan dengan jaminan ekonomi membaik, derajat kesehatan meningkat dan infrastruktur memadai agar aksesibilitas masyarakat terjawab,”jelasnya. (Hiro Tuames)