Suara-ntt.com, Kupang-Para Okupan yang tinggal di lokasi Besipae Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dinilai menghambat proses pembangunan yang sementara berjalan di wilayah itu.
Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah Provinsi NTT, Alexander Lumba mengatakan, sebenarnya pemerintah Provinsi NTT tidak mempermasalahkan para Okupan tinggal di wilayah Besipae.
Namun yang disesalkan pada saat proses pembangunan sedang berlangsung oknum-oknum itu tidak ada etikad baik dan pola yang dilakukan sama seperti sebelumnya dalam melakukan aksi protes.
“Mereka menempatkan perempuan dan anak-anak di depan sehingga pada saat operator menjalankan alat berat itu pasti mereka akan jatuh dan tergiling. Ini cara dan senjata yang pakai oleh mereka dalam memprotes pemerintah. Dalam pikiran mereka apa yang dilakukan pemerintah dalam kaitan dengan program pemberdayaan masyarakat di lokasi itu selalu salah dan tidak ada benarnya,”kata Alex Lumba kepada wartawan di Lantai I Kantor Gubernur NTT pada Sabtu, 22 Oktober 2022 sore.
Dengan adanya kejadian itu dan mendapat laporan dari teman-teman di lapangan pihaknya langsung mengadakan rapat. Dan keputusan rapat itu menghasilkan bahwa para Okupan ini harus ditertibkan dengan cara melakukan pembongkaran kembali rumah-rumah yang telah dibangun oleh pemerintah karena ada penghuni ilegal. Bahkan ada penambahan beberapa unit rumah yang dibangun oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.
“Teman-teman wartawan bisa cek sendiri karena mereka sebagian besar tidak mempunyai KTP di Desa Linenutu di lokasi rumah-rumah itu dibangun,”ungkapnya didampingi Kepala Dinas PUPR Provinsi NTT, Maksi Nenabu, Kepala Biro Hukum Setda Provinsi NTT, Odermaks Sombu, Pelaksana Tugas (Plt) Sekda Provinsi NTT, Johanna Lisapally dan Kepala Bidang Pembinaan Dinas LHK Provinsi NTT, Rudi Lismono.
Selanjutnya pihaknya menyiapkan administrasi untuk proses penertiban aset. Dan pada Senin, 17 Oktober 2022 diberikan surat pemberitahuan kepada para Okupan dan disampaikan melalui Kepala Instalasi Besipae, Bernard Seran alias Jaka.
Pada saat yang bersangkutan menyerahkan surat pemberitahuan itu dan diterima oleh saudara Daud Selan. Kemudian saudara Jaka juga memberikan surat kepada Kapolsek, Danramil dan lainnya sebagainya. Setelah itu dirinya membagikan lagi surat kepada para Okupan yang belum menerima surat. Saat itu dirinya menaruh curiga ketika dipegang oleh saudara Daud Selan lalu dipukul oleh saudara Nikodemus Manao sehingga pelipisnya terobek dan mengeluarkan darah segar.
Pacsa kejadian itu saudara Daud Selan mendatangi Jaka untuk diselesaikan secara kekeluargaan. Namun saudara Jaka tidak menerima itu dan langsung melaporkan hal itu ke Polres TTS dan sudah divisum.
Dijelaskan, berkaitan dengan surat pemberitahuan untuk dilakukan pengosongan itu berlaku 3×24 jam. “Kita berikan waktu untuk pengosongan selama 3×24 jam mulai dari Senin, 17 Oktober sampai Rabu, 19 Oktober 2022 malam. Tapi dalam rentan waktu itu tidak dihiraukan sehingga pada Kamis, 20 Oktober 2022 kami melakukan penertiban terhadap rumah-rumah milik Pemprov NTT yang dibangun dan dihuni Okupan ilegal serta rumah-rumah yang dibangun oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab diatas tanah milik Pemprov NTT,”ucapnya.
Dikatakan, proses penertiban itu dilakukan dari Kamis, 20 Oktober hingga saat ini. “Saya baru pulang dari Besipae dan teman-teman masih melakukan proses pembersihan terhadap material bangunan milik Pemprov agar disimpan di Instalasi Besipae sehingga bisa digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya,”jelasnya.
Untuk diketahui bahwa ada lima desa yang berada di sekitar wilayah Besipae diperuntukan untuk pengembangan peternakan di NTT.
“Karena kita tahu bahwa pada saat itu NTT khususnya di pulau Timor dikenal dengan gudang ternak,”bebernya.
Pada tahun 1986 kata dia, Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT memproses sertifikat atas kawasan tersebut. Dan sertifikatnya sudah diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tahun itu (1986, red). Dalam perjalanan waktu pada tahun 2012 sertifikat itu hilang kemudian diproses ulang oleh Pemerintah Provinsi NTT dan sudah ada sertifikat.
Dan di tahun 2012 ada Okupan yang dimotori oleh keluarga Selan Cs dan saudara Nikodemus Manao bersama 37 kepala keluarga (KK) mengokopasi tanah tersebut bahkan mereka mengusir pegawai instalasi peternakan yang bertugas disitu lalu mereka menempati gedung-gedung instalasi yang ada.
“Teman-teman wartawan bisa cek sendiri karena gedung-gedung itu masih berdiri sampai sekarang,”terangnya.
Seiring waktu berjalan pemerintah ingin melaksanakan program-program pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan warga dari lima desa tersebut.
Kemudian pada tahun 2020, Pemerintah Provinsi NTT melaksanakan program tersebut, namun sebelumnya dilakukan sosialisasi terhadap program-program yang akan dilaksanakan dan melibatkan masyarakat dari kelima desa tersebut.
“Saat itu masyarakat dari kelima desa tersebut menerima untuk pemerintah melaksanakan dan melibatkan mereka. Namun saat itu ada aksi penolakan, protes dan demo oleh ke-37 kepala keluarga tersebut dilokasi. Mungkin ada teman-teman wartawan yang ikut saat itu di tahun 2020 dan kejadian itu sama seperti saat ini. Dan ini menjadi sangat viral.
Setelah demo itu lanjutnya ada kebijakan pemerintah menghubungi keluarga besar Nabuasa dan meminta kepada mereka untuk memberikan lahan kepada 37 KK tersebut. Namun sebelumnya itu pemerintah juga membangun 14 unit rumah di lokasi tersebut untuk menampung para okupan. Dan akan memberikan lahan seluas 800 meter persegi untuk mereka bertani dan lain sebagainya.
Dari ke-37 KK itu hanya 19 KK yang menerima sementara 18 KK lainnya menolak padahal pemerintah sudah bangun rumah dan tanah sudah disiapkan oleh keluarga Nabuasa.
“Hingga saat ini 19 KK itu masih tinggal di tanah yang disediakan oleh keluarga Nabuasa,”tandasnya.
Sementara 18 KK itu setelah melakukan protes, demo dan aksi lainnya dan mereka menghilang dari lokasi tersebut sekian lama. Setelah itu pada tahun 2022, Pemprov NTT merencanakan untuk melakukan proses pembangunan di Besipae dengan program-program yang telah disiapkan oleh masing-masing perangkat daerah seperti Dinas PUPR, Dinas Peternakan, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan serta lainnya.
Lebih lanjut kata dia pada saat pemerintah melakukan proses pembangunan di lokasi itu dengan menandatang kontrak dengan pihak ketiga (kontraktor)untuk bekerja. Ketika pihak ketiga menurunkan alat-alat berat di lokasi dan mulai bekerja maka muncullah pendemo-pendemo itu. Namun sebelumnya para Okupan memasuki dan merusak rumah-rumah yang disiapkan oleh pemerintah. Dan kunci-kunci rumah sudah diserahkan kepada Kapolsek dan Camat setempat. Dengan asumsi bahwa jika ada masyarakat yang menjamin keamanan bisa diberikan kunci untuk menempati rumah-rumah itu.
“Tapi ketika mereka kembali bukannya menghubungi dan berkomunikasi dengan Kapolsek dan Camat tapi mereka mengambil tindakan sendiri dengan cara membongkar kunci-kunci yang ada dan tinggal di rumah-rumah itu sampai dengan kejadian kemarin,”pungkasnya. (Hiro Tuames)