Suara-ntt.com, Kupang-Pembelian Medium Term Notes (MTN) dari PT. Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP) sebesar Rp 50 miliar tidak ada dalam rencana bisnis Bank NTT tahun 2018 dan terkesan dipaksakan.
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan(LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan NTT tahun 2020 itu menjadi temuan.
Jika tidak ada didalam rencana bisnis bank maka seharusnya tidak dianggaran untuk pembelian MTN. Dengan demikian pembelian surat berharga dari pihak ketiga itu terkesan dipaksakan.
“Proses pembelian MTN PT SNP tidak didahului Due Diligence atau uji tuntas, yaitu proses identifikasi, verifikasi, pengumpulan informasi dari pelbagai pihak dan pemantauan langsung untuk memastikan keberhasilan investasi,” kata Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Provinsi NTT, Hugo Rehi Kalembu, M.Si, menanggapi pernyataan Direktur Utama (Dirut) Bank NTT, Harry Alexander Riwu Kaho terkait pemandangan umum Fraksi Golkar dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPRD Provinsi NTT beberapa waktu lalu.
Atas dasar tersebut, Fraksi Partai Golkar DPRD NTT melihat ada indikasi pelanggaran SOP yang berhubungan dengan mitigasi resiko.
“Ini yang harus dijernihkan oleh Aparat Penegak Hukum agar duduk perkara menjadi terang benderang,” tegas Hugo.
Menurut Fraksi Golkar, pembelian MTN PT. SNP didasarkan pada LHP BPK yang menemukan adanya potensi kerugian Bank NTT sebesar Rp 50 miliar, karena PT. SNP sudah dinyatakan pailit dan kegiatan usahanya dibekukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) setelah pembelian MTN berlangsung.
“Bahwa Dirut Bank NTT telah menindaklanjuti rekomendasi BPK dan sudah dimuat pada portal BPK, hal itu adalah proses administasi
yang seharusnya demikian,” tandas Hugo.
“Tetapi tidak serta merta menyelesaikan
potensi kerugian Bank NTT sebesar Rp 50 miliar dan menghentikan upaya penjernihan indikasi pelanggaran SOP yang bisa berujung pada masalah hukum,” imbuhnya.
Ditegaskan, masalah pembelian MTN masih tetap ada dan masalah tidak selesai seperti yang disampaikan oleh Dirut Bank NTT. (HT)