Keterangan Foto: Kepala Dinas LHK Provinsi NTT, Ondy Siagian. (Foto Hiro Tuames)
Suara-ntt.com, Oelamasi-Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Timur (NTT) mengajak semua pihak untuk peduli dan menjaga keberadaan tanaman mangrove (bakau) di pesisir pantai.
“Untuk menguatkan para penggiat mangrove maupun kita semua maka saya mengajak para pihak untuk selalu peduli terhadap keberadaan hutan mangrove yang ada,”kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi NTT, Ondy Siagian ketika membaca sambutan Penjabat Gubernur NTT, Ayodhia Kalake pada acara penanaman serentak 25 ribu anakan mangrove di Kawasan Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Teluk Kupang Desa Tanah Merah, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur dan berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Oebelo pada Kamis, 25 April 2024.
“Sehubungan dengan dukungan, kerja kolaborasi dan kerjasama kita semua, sekali lagi kami menyampaikan apresiasi dan mengucapkan terima kasih atas partisipasi aktik kita pada acara penanaman serentak ini,”ungkapnya.
Dia mengatakan, pada dekade belakangan ini, bangsa ini sedang diperhadapkan pada kondisi perubahan iklim global. Perubahan Iklim dimaksud sebagai penanda keadaan atmosfer mengalami pergeseran rata- rata cuaca dalam kurun waktu tertentu. Hal ini banyak disebabkan oleh aktivitas manusia baik secara langsung maupun tidak langsung hingga kemudian mengubah variabilitas iklim alami dan komposisi dari atmosfer global pada suatu periode waktu yang dapat diperbandingkan.
Dikatakan, beberapa variabel penyebab perubahan iklim global, yaitu; Efek Rumah Kaca, Peningkatan Emisi, Pemanasan Global, dan Perubahan Orbit Bumi. Kondisi ini akan membawa dampak negatif terhadap kehidupan makhluk hidup di bumi, dalam hal; kepunahan ekosistem, turunnya hasil pangan/panen, rentannya wilayah pesisir dan dataran rendah, turunnya sumber air, dan terganggunya kesehatan makhluk hidup.
Dijelaskan, Indonesia telah cukup lama memiliki perhatian terhadap perubahan iklim. Hai ini, ditandai oleh Indonesia melakukan ratifikasi UNFCC pada tahun 1994. Pembangunan berketahanan iklim menjadi salah satu prioritas nasional keenam dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, yakni dengan prioritas membangun lingkungan hidup. meningkatkan ketahan bendacana dan perubahan iklim, Indikator keberhasilan kebijakan tersebut adalah Penurunan Petensi Kehilangan PDB Sektor Berdampak Bahaya Iklim hingga 1,15 persen pada tahun 2024.
Indonesia juga telah berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sampai 31,89 persen dibanding proyeksi business as usual (BAU) di tahun 2030 dengan usaha sendiri (unconditional). Bila menggunakan bantuan internasional/asing (conditional), Indonesia berkomitmen dapat mengurangi emisi karbon sampai 43,20 persen sampai pada tahun 2030.
Sehubungan dengan hal dimaksud, bahwa sejumlah kebijakan yang telah ditempuh, antara lain: Mengurangi energi bahan bakar fosil dan menambah penggunaan energi bersi dan terbarukan; Menerapkan pertanian dan perkebuanan yang berkelanjutan; Mengurangi deforestasi dan merestorasi lahan gambut, Memperbaiki manajemen penggunaan air,
Meningkatkan pengelolaan sampah berkelanjutan dan Konversi ke kenderaan listrik.
“Kita harus komitmen dengan kebijakan nasional, mengingat bahwa dampak perubahan iklim dan keruntuhan ekologi dapat terjadi pada semua sektor, yaitu: Mulai sering terjadi kekeringan di lahan pertanian, resiko kebakaran hutan dan lahan, serta kejadian bencana hiodrometeorologi; Sudah lebih sering terjadi frekwensi hujan ekstrim; Terjadi secara terus-menerus gletser meleleh/mencair dan kenaikan permukaan air laut;
Beberapa kali terjadi suhu permukaan air laut makin asam dan kejadian gelombang panas,”jelasnya.
Dipaparkan berdasarkan laporan Bank Dunia bahwa Indonesia telah membuat komitmen penting dan disambut baik untuk adaptasi dan mitigasi iklim. Salah satu tantangan yang dihadapi Indonesia adalah menjaga keseimbangan antara pengurangan emisi gas rumah kaca dan memastikan arah pertumbuhan ekonomi untuk mencapai tujuannya menjadi negara dengan pendapatan tinggi.
Laporan Iklim dan Pembangunan Negara menunjukkan bahwa kedua tujuan tersebut dapat dicapai. Hal ini dimungkinkan melalui implementasi reformasi yang menggabungkan dampak lingkungan dan pembangunan jangka pendek dan kemudian mendukung transisi menuju pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan.
Lebih lanjut kata dia, keberadaan hutan mangrove pada dekade belakangan ini, sering mendapat gangguan dan tekanan sehingga ekosistemnya banyak yang rusak. “Para pemangku kepentingan cukup tinggi terhadap wilayah pesisir pantai dan perairan laut untuk berbagai kebutuhan pembangunan. Oleh karenanya, tidak sedikit keberadaan hutan mangrove beralih fungsi dan rusak. Kondisi tersebut sangat memprihatinkan kita semua,”terangnya.
Ia menambahkan dengan memperhatikan betapa besarnya fungsi dan peran mangrove terhadap kehidupan di daratan maupun diperairan laut, serta kebutuhan untuk mendorong pembangunan dan juga melestarikan keberadaan sosial ekonomi budaya masyarakat setempat, maka pengelolaan mangrove perlu diformulasikan dalam skema Integrated Area Development (Pembangunan Wilayah Terpadu), baik mangrove berupa kawasan hutan maupun mangrove pada areal penggunaan lainnya.
Untuk diketahui bahwa pengelolaan mangrove dengan skema Integrated Area Development sebagai wujud kerja kolaborasi diharapkan mampu mengakomodir kebutuhan para pihak berkepentingan dengan tetap kosisten, komitmen dan bertanggung gugat untuk selalu menyeimbangkan secara proporsional aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya masyarakat setempat. Oleh karenanya, keberadaan ekosistem mangrove tertap terjaga dan lestari untuk menyokong kehidupan di daratan maupun kehidupan di perairan laut. Sehubungan dengan hal tersebut, kami berharap adanya program kegiatan dan kerja-kerja nyata Kelompok Kerja Mangrove Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota mampu mewujudkan pengelolaan hutan mangrove yang lestari. ***