Penjabat Wali Kota Kupang Sebut Masih Ditemukan Tayangan di Platform Sosial Media yang Abaikan Norma Adat Istiadat dan Tak Layak Dikonsumsi Anak-anak

oleh -132 Dilihat

Suara-ntt.com, Kupang-Penjabat Wali Kota Kupang, Fahrensy P. Funay membuka kegiatan Literasi dan Edukasi Hukum Bidang Perfilman dan Penyensoran. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Lembaga Sensor Film RI itu berlangsung di Hotel Sotis Kupang, Kamis (15/8/24).

Hadir dalam kegiatan tersebut Wakil Ketua Lembaga Sensor Film (LSF RI), Dr. Ervan Ismail, Ketua Sub Komisi Apresiasi dan Promosi LSF RI, Joseph Samuel Krishna AA, Ketua Sub Komisi Dialog LSF RI, Noorca M. Massardi, Ketua KPID Provinsi NTT, Godlif Ricard Poyk, perwakilan dari Balai Pelestarian Kebudayaan Provinsi NTT Wilayah 16, para akademisi, pelaku industri perfilman daerah, mahasiswa serta perwakilan siswa dari sejumlah SMP dan SMA di Kota Kupang.

Penjabat Wali Kota Kupang menyampaikan bahwa kegiatan tersebut merupakan langkah strategis yang harus terus dilakukan dalam rangka melindungi masyarakat dari dampak negatif film dan iklan.

Menurutnya literasi hukum sangat diperlukan untuk memastikan bahwa pelaku-pelaku perfilman di daerah khususnya di Kota Kupang memahami regulasi yang ada, sehingga dapat menghasilkan karya yang berkualitas dan sesuai dengan kaidah hukum.

Fahrensy menambahkan literasi dan edukasi sangat penting bagi masyarakat agar mendapatkan bekal pengetahuan tentang literasi perfilman dan penyensoran yang baik, sehingga mampu memilih dan memilah tontonan yang baik dan berkualitas.

Karena menurutnya kemajuan teknologi komunikasi dan informasi membuat masyarakat saat ini sangat mudah mengakses jaringan informasi digital termasuk film, tidak hanya lewat media konvensional seperti televisi dan bioskop, tapi juga melalui tayangan-tayangan pada platform-platform media sosial. Sayangnya tayangan-tayangan pada sosial media kerap kali minim filter karena tanpa melalui sensor. Beberapa di antaranya bahkan mengabaikan norma, adat istiadat dan kebudayaan masyarakat kita dan tidak layak dikonsumsi oleh anak-anak di bawah umur.

Lebih lanjut dikatakan pemerintah menyadari bahwa upaya melindungi masyarakat dari dampak negatif film tidak cukup dengan kebijakan surat tanda lulus sensor (STLS). “Masyarakat dan publik perlu mendapatkan pendidikan serta pengetahuan terhadap film melalui penguatan fungsi literasi, sehingga masyarakat memiliki kesadaran dan kepedulian untuk menonton film sesuai klasifikasi usia maupun peruntukannya,” ungkapnya.

Kepada para peserta literasi dan edukasi Fahrensy berharap agar dapat mengikuti kegiatan ini dengan sungguh-sungguh.

Dia percaya apa yang dibagikan dalam kegiatan ini sangat bermanfaat tidak hanya bagi masyarakat pencinta film tapi juga para pembuat film sehingga dapat memproduksi film yang memiliki nilai seni tinggi dan tidak bertentangan dengan norma dan aturan yang berlaku.

Wakil Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) RI, Dr. Ervan Ismail dalam sambutannya menyampaikan acara tersebut merupakan bagian dari program LSF hadir di seluruh Indonesia.

Dia menuturkan LSF telah hadir sejak jaman Belanda, usianya sekitar 108 tahun. Dan salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh LSF adalah memajukan perfilman nasioanal. Karena itu LSF hadir di NTT bukan saja hanya untuk sekedar melakukan penyensoran saja tetapi juga merupakan bagian dari upaya mendukung perkembangan dan pertumbuhan pefilman di Indonesia.

Diakuinya pada periode ini, film Indonesia telah menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Dari sekitar 60 juta penonton di Indonesia 50 persen telah menonton film nasional. Jadi menurutnya perkembangan perfilman nasional sangat menggembirakan. Oleh karena itu Ervan menilai perlu terus dilakukan literasi dan edukasi persolan-persoalan yang terkait dengan regulasi dan hukum perfilman.

Menurutnya saat ini para calon sineas semakin bertumbuh dan budaya lokal atau nilai-nilai lokal semakin banyak yang diangkat dalam perfilman. Fakta tersebut berdampak baik terhadap sektor lain tidak hanya film, seperti terbangunnya pariwisata di daerah sebagai dampak dari karya-karya para sineas di daerah.

“Kita berharap potensi-potensi di NTT yang luar biasa terutama tentang alamnya, budaya atau adat istiadatnya bisa terangkat di perfilman baik dalam bentuk kreativitas karya sineas-sineas lokal, film nasional atau bahkan Internasional,” pungkas Ervan. ***