Pensiunan ASN Ini, Kini Beralih Profesi jadi Petani dan Meraup Keuntungan Ratusan Juta

oleh -194 Dilihat

Frans Salem di Kebun Buah Naga dan Pepaya. (Foto Hiro Tuames)

Suara-ntt.com, Kupang-Siang itu, Jumat (10/06/2022, red) udara Kota Kupang dan sekitarnya begitu panas. Rombongan wartawan desk provinsi sekitar pukul 12:15 WITA meluncur dari Kantor Gubernur NTT menuju ke kebun milik bapak Fransiskus Salem di wilayah Tilong, Desa Noelbaki Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang.

Pada pukul 13:15 WITA, rombongan wartawan itu memasuki pintu gerbang kebun milik mantan Sekertaris Daerah Provonsi NTT ini. Di teras depan rumah berdirilah seorang pria berbaju kaos putih dan celana panjang hitam yang tidak asing lagi. Dialah bapak Fransiskus Salem.

Dari kejauhan pria itu menebar senyiuman dan menyapa satu per satu rombongan wartawan desk provinsi. Dan saat itu pula para pekerja media dipersilahkan duduk di tempat yang sudah disediakan.

Ketika duduk santai dan menikmati pepaya masak, mantan Sekertaris Daerah (Sekda) Provinsi NTT ini menceritakan kisah menjelang pensiun sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).

“Waktu itu saya mulai berpikir bahwa setelah pensiun harus ada sesuatu yang bisa saya kerjakan. Kita sudah terbiasa kerja dengan malam-malam bahkan kadang kala kerja sampai pagi. Lalu tiba-tiba pensiun dan stop total maka bisa stress. Oleh karena itu saya hobi di pertanian dan kita persiapkan ini sebenarnya untuk mengganti aktivitas saat masih aktif sebagai ASN,”kata Frans Salem.

Pensiunan Apartur Sipil Negara (ASN) di lingkup Pemerintah Provinsi NTT ini, kini beralih profesi menjadi seorang petani tulen dan meraup keuntungan ratusan juta rupiah.

“Ketika pensiun kita tidak perlu stress karena kita bebas sambil menyesuaikan dengan kondisi yang ada dan ini adalah bagian dari olahraga,”bebernya.

Dia mengatakan, di lahan yang luasnya 5 hektare itu, sekitar 1,5 hektar diolah untuk menanam 500 pohon buah naga dan 600 pohon pepaya.

“Luas lahannya sekitar 5 hektare dan yang kita olah hanya 1,5 hektare. Dan itu kita tanam buah naga dan pepaya,”ungkapnya.

Dikatakan, dalam mengolah lahan itu dirinya dibantu oleh lima anak. Dan mereka diupah dengan sebesar Rp 1 juta lebih per bulan.

“Minimal kita tidak bisa kerja sendiri harus dibantu oleh anak-anak. Ada lima anak yang kita pekerjakan disini  dengan diberi upah per bulan Rp 1 juta lebih. Selain itu biaya makan minum kita yang tanggung dan mereka tinggal disini,”pintanya.

Dijelaskan, dirinya berkecimpung di dunia pertanian dalam hal ini menanam buah naga pada tahun 2016 lalu dan panen perdana di 2017.

Dalam estimasinya jika ada 500 pohon buah naga. Misalkan satu kilo saja harganya Rp 30.000 dikali 500 kilo maka akan menghasilkan sebesar Rp 15 juta.

“Dalam satu musim kalau kita panen dari bulan Oktober sampai bulan Mei bisa belasan kali panen. Dari hasil penjualan ini bisa menutupi semua biaya operasional. Selain menikmati yang indah-indah ini kita tidak perlu mengeluarkan biaya lain sebab  biayanya ditutup dari hasil penjualan,”ucapnya.

Sedangkan untuk tanaman pepaya ada sekitar 600 pohon. Sebenarnya pepaya ini adalah tanaman yang gampang tumbuh. Jika dirawat dengan baik maka akan menghasilkan buah yang lumayan bagus.

“Katakan saja satu pohon ada 20 buah dan satu buah harganya 10 ribu rupiah saja maka satu pohon itu bisa menghasilkan 200 ribu rupiah. Namun semua itu digunakan untuk menutupi semua operasional. Hal itu dilakukan untuk tidak mengambil dari sumber lain tapi bisa membiayai diri sendiri,”terangnya.

Lebih lanjut kata dia, jika tidak ada intervensi dari pemerintah maka petani pepaya agak susah mendapat pasaran seperti sekarang ini. Karena pepaya itu tumbuhnya gampang dan semua orang setelah melihat hasilnya bagus maka akan mulai berlomba-omna untuk tanam pepaya.

Karena banyak orang yang menanam dan hasilnya berlimpah ruah di pasaran sehingga dulu harganya Rp 10 ribu per kilo dan orang langsung beli di kebun sini. Namun sekarang orang tidak datang ambil karena kebanyakan mereka terima langsung di tempat dengan harga berkisar Rp 7.000 atau Rp 8.000 per kilo. Dan harga mulai turun dan membuat para petani yang sebelumnya bersemangat kini menjadi lesuh. Ini yang menjadi persoalan yang dihadapi oleh para petani.

“Kalau memang tidak ada perhatian dari pemerintah dan berpikir untuk menjual secara mentah tetapi diolah lagi menjadi sesuatu dan pasarnya tersedia itu baru mantap”.

“Pemerintah harus berpikir bagaimana menampung hasil masyarakat untuk diolah lebih lanjut dan pasarnya lebih stabil agar masyarakat termotivasi untuk terus menanam pepaya,”tandasnya.

“Kita memang mendorong tetangga untuk menanam dalam jumlah yang besar hanya pasarannya tidak terlalu menjanjikan. Paling mereka tanam untuk makan saja dan itu juga dalam jumlah sedikit,”tambahnya

Selain itu menanam buah naga dan pepaya dirinya juga memelihara ayam sekitar 10.000 ekor yang tersebar di dua kandang. Dan dari kotoran ayam itu dijadikan sebagai pupuk.

“Untuk ayam kalau kita pelihara dan pas mau panen atau jual tiba-tiba ada virus ayam mati dan l jika modalnya tidak kuat maka bisa bangkrut.”

“Kemudian kalau pas panen atau jual ada  ayam yang afker maka harganya juga langsung drop. Dan itu yang membuat masyarakat patah semangat untuk pelihara ayam. Bahkan sekarang banyak kadang yang kosong,”jelasnya.

Dia mengakui dengan adanya perkembangan jaman yang serba digiltalisasi maka sudah sepatutnya harus mengikuti perkembangan yang ada.

“Memang sekarang ini mau tidak mau mengikuti perkembangan jaman dan istri saya yang jual buah secara online. Sekarang bukan jamannya kita berdiri atau duduk berjam-jam untuk menjual hasil pertanian atau perkebunan kita tapi harus online. Dan UMKM kita harus masuk ke sana. Kalau tidak maka akan mati sendiri,”pungkasnya. (Hiro Tuames)