Oleh : Verry Guru
Mahasiswa Pascasarjana IAKN Kupang
Suara-ntt.com, Kupang-Institusi Gereja dan Pemerintah sejatinya memiliki visi dan misi yang “nyaris” sama yakni mensejahterakan jemaat atau masyarakat. Gereja pada esensinya hadir untuk kesejahteraan manusia, bukan sebaliknya. Namun mengapa hingga kini problem kemiskinan; termasuk kemiskinan esktrim di Provinsi NTT belum teratasi ? Apa sesungguhnya peran Gereja dan kontribusinya dalam membantu pemerintah mengatasi kemiskinan ?
Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) menegaskan bahwa persoalan kemiskinan merupakan masalah yang harus diatasi secara bersama-sama oleh semua komponen termasuk di dalamnya pihak Gereja. Pemerintah Provinsi NTT tidak bisa berjalan sendiri dalam mengatasi kemiskinan, kata Gubernur VBL.
Secara praksis Gereja berperan membantu pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan. Bukankah Yesus mengajarkan dua hukum, yaitu hukum yang utama dan pertama : kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap kekuatanmu. Sedangkan hukum kedua adalah kasihilah sesamamu manusia seperti Kristus telah mengasihimu.
Jadi Gereja memang dipanggil untuk melayani, menyinari untuk menghadirkan terang, menggarami untuk mencegah kebusukan dan mewarnai dunia ini dengan nilai-nilai kebenaran. Karenanya Gereja sudah seharusnya mulai melangkah, melayani masyarakat sekitar yang membutuhkan pertolongan, bukan hanya pelayanan yang insidentil tetapi pelayanan yang memberdayakan.
Komunikasi yang dialogis dan efektif perlu terus dibangun antara Gereja dan Pemerintah serta berbagai upaya berjejaring lainnya yang dapat memberikan layanan yang optimal. Sehingga Gereja menjadi distributor berkat bagi sesama; mereka yang miskin, tertindas dan terabaikan.
Gereja juga harus bisa menggerakan solidaritasnya. Artinya: pertama, lebih sebagai alat Gereja memainkan peran positif dengan membantu orang lain mengenal kebenaran mengenai kaum miskin yang merupakan mayoritas, sehingga orang-orang yang kaya tidak akan meminjam kata-kata Paulus, “memenjarakan kebenaran dengan ketidakadilan,” melainkan sebaliknya, mengakui situasi tragis mayoritas umat manusia sebagai fakta paling mendasar dari sejarah.
Kedua, sejauh gereja mengizinkan dirinya menjadi sebuah Gereja kaum miskin, Gereja menjadi lambang nyata kaum miskin, yang tidak hanya menunjuk kebenaran mereka dari luar, tetapi menyatakan kebenaran itu dalam dirinya sendiri. Penjelmaan Gereja dalam dunia kaum miskin, yang membela nasib mereka dan ikut merasakan penganiayaan dan kematian mereka, dengan jelas memperlihatkan realitas mengenai kaum miskin di dunia.
Dengan cara ini gereja memperlihatkan bagaimana ia dapat dan harus menjadi sebuah Gereja dewasa ini dan apa identitasnya.
Namun Gereja juga memperlihatkan bagaimana orang dapat dan harus menjadi manusia dewasa ini dan jalan mana yang mengarah kepada utopia mengenai umat manusia yang bersatu: Gereja mulai dengan berpaling kepada kaum miskin dan menanggung kemiskinan mereka. Gereja seperti itu adalah gereja yang mengakhiri isolasi antargereja dan membantu mengakhiri isolasi antara dunia kaum miskin dan dunia orang-orang yang hidup berkelimpahan.
Pentingnya Revolusi Doa
Komitmen Gubernur VBL dalam memerangi kemiskinan plus “kebodohan’ di NTT sangat kentara. Suatu kesempatan Gubernur VBL mengatakan, “karena orang cerdas saja yang masuk surga. Tidak ada orang bodoh dan miskin yang masuk surga.”
Menurutnya, pola pikir masyarakat NTT perlu diubah agar dalam membangun sumber daya manusia harus hidup dengan tangan dan keringat sendiri. Kebodohan dan kemiskinan adalah beban bagi diri sendiri, lingkungan, keluarga, negara, dan Tuhan. Sehingga menurut Gubernur VBL, perlu ada kerja bersama semua pihak dalam membangun NTT melalui pembangunan manusia lewat pendidikan yang baik.
Pernyataan Gubernur VBL dalam hal ini berhubungan dengan dua domain sekaligus yaitu politik dan teologi. Dalam rangka membicarakan persoalan politik kesejahteraan, Gubernur VBL mengambil inspirasi teologi yang tampak dalam kata ‘surga’. Teologi politik kesejahteraan Gubernur VBL mengandung ajaran predestinasi (Calvinisme) yang mengajarkan keselamatan umat manusia sudah ditentukan oleh Tuhan sebelumnya.
Sebagai konsekuensi, di tengah dunia ini manusia harus berupaya mengonfirmasi bahwa dirinya adalah salah satu di antara orang-orang yang telah ditentukan menerima keselamatan. Dalam rangka mengonfirmasi diri sebagai orang yang diselamatkan, seseorang harus bekerja keras demi mencapai kesuksesan di dunia.
Ungkapan Gubernur VBL di atas menunjukkan arah yang sama dengan ajaran predestinasi. Menurut Gubernur VBL, keselamatan (surga) hanya akan diakses oleh orang-orang yang selama hidupnya tidak miskin dan tidak bodoh. Dengan kata lain, kemiskinan dan kebodohan adalah hambatan dalam mencapai surga keselamatan.
Ada beberapa poin penting yang menjiwai Gubernur VBL dalam merancang teologi politik kesejahteraan di NTT. Pertama, dengan mengatakan “Orang Bodoh dan Miskin Tidak Akan Masuk Surga”, Gubernur VBL menunjukkan orientasinya pada kenyataan riil yang terjadi di tengah dunia.
Kunci memasuki ‘surga’ menurutnya adalah liberasi dari kemiskinan dan kebodohan. Artinya, Gubernur VBL sebenarnya hendak membalikkan logika umum tentang ‘surga’ sebagai ruang eskatologis. Surga bagi Gubernur VBL adalah ‘surga dunia’, suatu teritori nyata di mana manusia hidup sejahtera tanpa kemiskinan dan kebodohan. Dengan demikian, upaya mengatasi kemiskinan dan kebodohan adalah bukan berdoa dan berkotbah, melainkan dengan aksi nyata yang transformatif-politis.
Kedua, seperti Calvinisme yang mementingkan aspek kerja keras, ungkapan Gubernur VBL adalah gugatan bagi masyarakat yang hidup dalam kemalasan tanpa kerja keras untuk keluar dari kemiskinan dan kebodohan.
Kerja keras pemerintah dan masyarakat NTT harus nyata dalam aksi politis, sebab kesejahteraan hanya akan tercapai melalui kerja. Pemerintah dan masyarakat mustinya tidak terlena dengan hiburan tentang surga, tetapi berupaya menggapai surga.
Ketiga, orientasi pada dunia dan kerja keras mengantar pada keseimbangan antara aspek kesalehan pribadi atau komunal dan aspek aksi yang transformatif.
Dalam konteks NTT yang memiliki jutaan rumah ibadah dan pelbagai praktik kesalehan agama (semisal prosesi), Gubernur VBL hendak mengingatkan pentingnya revolusi doa yang tampak dalam aksi nyata untuk membebaskan masyarakat dari kemiskinan dan kebodohan. Kemiskinan dan kebodohan tidak hanya akan terselesaikan oleh doa yang panjang lebar seperti kaum farisi tetapi juga oleh aksi yang nyata.
Ubah Pola Pikir
Pernyataan politik Gubernur VBL yang kritis, lugas dan apa adanya musti dibaca atau dimaknai sebagai cambuk bagi NTT. Setelah sekian lama orang-orang NTT menerima secara kolektif sebutan ‘Nanti Tuhan Tolong’ atau ‘Nusa Tetap Termiskin’, Gubernur VBL tampil sebagai ‘pengusik’ dengan berupaya merancang eksodus dari kondisi kemiskinan dan kebodohan.
Gubernur VBL sedang membangun sebuah ‘komunitas terbayang’ dengan memantik imajinasi kreatif orang-orang tentang NTT di masa depan yang bebas dari kemiskinan dan kebodohan. Membaca gagasan Gubernur VBL tentang eksodus dari kemiskinan dan kebodohan musti dimulai dari membangun imajinasi bersama yang kreatif, membayangkan secara futuristik kejayaan NTT. Hal ini hanya akan tercapai jika pola pikir Gereja, pemerintah dan masyarakat beranjak dari register eskatologis yang meninabobokan umat menuju pola aktif yang transformatif-politis.
Karena itu, perlu usaha dan kerja yang lebih keras mengurangi kemiskinan di Provinsi NTT terutama dengan membangun kesadaran baru tentang perspektif pengentasan kemiskinan yang lebih merangsang kebutuhan untuk memerangi kemiskinan sebagai “musuh bersama.” Perlu ekstra energi bersama antara Gereja dan Pemerintah dalam mengentaskan masalah kemiskinan yang dialami oleh umat/jemaatnya di Provinsi NTT. (*)