Perubahan Status Cagar Alam Mutis Menjadi Taman Nasional Picu Pro dan Kontra

oleh -408 Dilihat
Oplus_131072

Suara-ntt.com, Kupang-Cagar Alam Mutis di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) resmi berubah status menjadi Taman Nasional. Perubahan ini didasari Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 946 Tahun 2024 yang dikeluarkan pada 30 Juni 2024. Deklarasi Taman Nasional Mutis Timau berlangsung pada Minggu, 8 September 2024, di Kecamatan Fatumnasi, Kabupaten TTS, dan memicu berbagai tanggapan.

Taman Nasional Mutis Timau kini menjadi taman nasional ke-56 di Indonesia. Perubahan fungsi ini juga meliputi kawasan hutan lindung seluas 78.789 hektar yang mencakup Kabupaten Kupang, TTS, dan Timor Tengah Utara (TTU). Kawasan ini dikenal memiliki ekosistem yang unik, seperti hutan pegunungan yang didominasi oleh pohon Ampupu (Eucalyptus urophylla), yang merupakan tumbuhan endemik di NTT. Selain itu, Taman Nasional Mutis Timau juga menjadi habitat bagi 88 spesies burung dan beberapa spesies mamalia serta herpetofauna yang dilindungi.

Namun, perubahan ini tidak diterima begitu saja oleh masyarakat. Ketua Lembaga Adat Desa Noepesu, Lukas Tefa, mengungkapkan harapan agar label “taman nasional” dicabut dan menyatakan bahwa Gunung Mutis merupakan rumah dan bagian dari peradaban mereka. Selain itu, masyarakat adat dari Desa Noepesu dan Fatuneno di Kecamatan Miomaffo Barat, Kabupaten TTU, mengadakan ritual adat di dua lokasi, Teto Asin dan Eno Nuat, sebagai bentuk penolakan terhadap perubahan status tersebut.

Dalam upaya mencari solusi, Calon Gubernur NTT nomor urut 02, Melki Laka Lena, berinisiatif menghubungi Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, dan meminta agar keputusan tersebut dapat dikaji kembali melalui dialog dengan masyarakat. Menanggapi hal tersebut, Menteri Kehutanan menyatakan akan meninjau kembali kebijakan ini untuk mencari solusi terbaik, dengan mempertimbangkan dampak bagi masyarakat lokal.

Perubahan status Cagar Alam Mutis menjadi taman nasional ini di satu sisi dianggap dapat meningkatkan upaya pelestarian lingkungan, namun di sisi lain dianggap dapat mengancam kelestarian budaya lokal. Hingga kini, diskusi mengenai pro dan kontra ini masih berlanjut, dan solusi bersama diharapkan dapat segera tercapai demi menjaga keseimbangan antara konservasi lingkungan dan kearifan lokal masyarakat adat. ***