Site icon Suara NTT

Sidang Kasus Korupsi Hotel Plago, Ahli Hukum Administrasi Sebut BPK yang Punya Kewenangan Lakukan Perhitungan Kerugian Negara Bukan BPKP

Keterangan Foto: Suasana persidangan mendengarkan keterangan Saksi Ahli Hukum yang dihadirkan Kuasa Hukum di Pengadilan Tipikor Kupang pada Jumat, 15 Maret 2024. (Foto Wily)

Suara-ntt.com, Kupang-Pengadilan Tidak Pidana Korupsi (Tipikor) Kupang kembali menggelar sidang perkara dugaan korupsi pemanfaatan aset tanah milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Timur (NTT) seluas 31.670 M2 di Pantai Pede, Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat pada Jum’at, 15 Maret 2024. Dimana diatas lahan tersebut dibangun Hotel Plago.

Sidang telah memasuki agenda mendengarkan keterangan saksi ahli yang dihadirkan dari para terdakwa melalui kuasa hukumnya.

Dua saksi ahli yang dihadirkan yakni Dr. Hendry Julian Noor dari Departemen Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) dan Karina Dwi Nugrahati Ahli Hukum Bisnis dan Korporasi UGM.

Dalam kasus itu ada empat terdakwa yakni, Thelma Bana Mantan Kepala Bidang (Kabid) Aset Dinas Pendapatan dan Aset Daerah Provinsi NTT, Direktur PT SIM, Heri Pranyoto Direktur PT SWI Lidya Sunaryo dan Pemegang Saham PT SWI, Bahasili Papan.

Turut hadir Jaksa Penuntut Umum Kejati NTT, Hery Franklin, Cs, sementara terdakwa didampingi Kuasa Hukumnya, Khresna Guntarto, S,H, Cs

Sidang kasus korupsi ini dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Sarlota Marselina Suek, SH, didampingi dua hakim anggota Lizbet Adelina, S, H dan Mike Priyantini S, H,

Menurut Ahli Hukum Administrasi Negara Dr. Hendry Julian Noor untuk mendeklarasikan tentang adanya kewenangan melakukan perhitungan kerugian keuangan negara itu adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sementara Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan.

Meskipun sebenarnya Mahkamah Agung juga bilang dalam skemanya itu bahwa untuk menghitung bisa saja yang lain tetapi dalam mendeklarasikan itu adalah BPK.

“Saya sendiri memahami konstruksi kewenangan itu kan biasanya harus dilaksanakan secara ketat. Lalu kemudian kalau memang itu oleh lembaga lain maka setidaknya harus ada koordinasi ataupun permintaan dari BPK karena merujuk kepada pasal 9 ayat 1 Undang-Undang BPK,”ungkapnya.

Dikatakan, jika dilaksanakan tidak sesuai dengan fakta itu maka dari sisi cara membuktikan berarti ada lembaga yang tidak berwenang untuk melakukan audit sehingga untuk pembuktiannya tidak bisa dipakai dalam laporan itu.

Namun seharusnya dikembalikan lagi kepada yang Mulia Majelis Hakim tetapi dari sisi doktrin seharusnya tidak bisa tetapi kembali kepada kewenangan yang Mulia Hakim.

“Meskipun Inspektorat dan BPKP adalah lembaga auditor. Tetapi saya juga mengajar tentang sistem Pengawasan Apertur Sipil Negara mereka hanya sebatas melakukan pengawasan,”sebutnya.

“Kemudian terkait dengan audit kerugian negara dan sepengetahuan saya bahwa itu hanya kewenangan BPK dan bisa melihat di surat edaran Mahkamah Agung Nomor 54 tahun 2016,”tambahnya.

Khresna Guntarto, S,H selaku Kuasa Hukum Terdakwa mengatakan, dalam sidang Ahli Hukum Bisnis Korporasi dan Tata Usaha Negara Tipikor berpendapat bahwa kedua ahli mendukung pembelaannya yang nantinya akan di formulasi dalam pladoi.

Dijelaskan, secara hukum para terdakwa tidak bisa di persalahkan dalam dugaan tindak pidana korupsi karena terdakwa adalah orang yang secara perusahaan adalah identitas bisnis bukan orang perorangan. Jadi tidak bisa di persalahkan apalagi perusahaan PT SIM dan rekan PT SWI adalah pihak yang berinvestasi di pantai pede dan mereka yang mengeluarkan uang.

“Lalu bagaimana mungkin dituduh mereka merugikan keuangan negara. Karena faktanya negara yang menerima uang berupa kontribusi di tingkat pemerintah provinsi, bahkan tingkat kabupaten juga menerima retribusi pajak yang dihitung mencapai Rp 1 miliar lebih,”balik bertanya.

Dikatakan, PT SIM baru beroperasi selama 6 bulan, namun kontribusi yang diterima oleh Pemerintah Provinsi NTT sebesar RP 750 juta dimana pertahun sebesar Rp 250 juta selama tiga tahun.

“Padahal investasi baru beroperasi enam bulan tapi kontribusinya kepada Pemerintah Provinsi NTT sebesar RP 750 juta, dimana pertahun sebesar Rp 250 juta selama tiga tahun padahal PT SIM baru beroperasi selama 6 bulan,”bebernya.

Dijelaskan, pasca pada tahun 2014 saat PT SIM ditetapkan sebagai pihak pengelola bersamaan waktu itu ada demo sehingga manajemen PT SIM tidak langsung membangun. Dan kegiatan itu baru efektif doli tahun 2017 sehingga baru bisa operasional secara soft launcing dan hard launching itu di tahun 2019.

“Tapi belum hard launching dilaksanakan sudah COVID-19. Lalu ada tekanan untuk naikan kontribusi yang ujung-ujungnya pemutusan secara sepihak. Bagaimana mungkin sudah jatuh tertimpa tangga”, sebut Khresna usai persidangan kepada wartawan.

Menurut Ahli Tipikor dan Administrasi Negara itu dijelaskan bahwa jika seorang sudah mendapatkan peradilan dalam satu kasus tidak bisa lagi dalam perkara lain. Apalagi untuk objek dengan persoalan yang sama.

“Karena dalam perkara perdana yang melakukan perbuatan melawan hukum adalah Pemprov NTT bukan pihak swastanya, jadi kontrak itu masih dinyatakan sah oleh peradilan perdata dan sekarang pihak Pemprov NTT melakukan jenis upaya hukum kasasi,”jelasnya.

Kemudian keterangan Ahli Administrasi Negara menyampaikan bahwa mitra tidak bertanggung jawab atas persoalan itu. Karena konteks dibatasi dan yang bertanggung jawab itu administrasi karena dalam Permendagri Nomor 17 tahun 2007 itu ada klausul penyelesaian ganti kerugian jika daerah itu telah rugi.

Dia menambahkan dengan demikian, tidak bisa loncat langsung ke tindak pidana korupsi tetapi secara administratif harus di selesaikan secara administrasi dulu. Walaupun ada kesalahan administratif itu tidak bisa di selesaikan secara tipikor tetapi harus melalui hukum administrasi negara. ***

Exit mobile version