Suara-ntt.com, Kupang-Masyarakat Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada umumnya bergantung pada kawasan dengan status Area Penggunaan Lain (APL) dan memiliki budaya bertani dengan pola tebas bakar.
Satu sisi pola bertani dengan tebas bakar tersebut dapat menekan biaya operasional yang relatif murah namun disisi lain dapat menimbulkan terjadinya penyebaran asap api dan kebakaran lahan yang luas.
Secara ekologi, kondisi lahan, semak belukar dan hutan di NTT lebih didominasi oleh ekosistem savana sehingga potensi sumber bahan bakar (fuels) lebih berupa semak belukar dan alang-alang yang lebih mudah terbakar namun lebih cepat juga untuk dipadamkan. Hal tersebut dapat mengakibatkan frekuensi hotspot di NTT selama ini memiliki angka yang cukup tinggi.
Penjabat Gubernur NTT, Andriko Noto Susanto menghadiri dan membuka Rakor Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan bertempat di Aula Fernandez Kantor Gubernur NTT pada Kamis (12/9/2024).
Penjabat Gubernur NTT Andriko Noto Susanto mengungkapkan bahwa rapat yang dilakukan hari ini adalah salah satu langkah atau upaya bersama seluruh pemangku kepentingan untuk menyelamatkan bumi.
“Selama ini kita hanya mengambil, menggunakan, dan membuang. Tetapi dalam konteks ekonomi sirkular sebenarnya kita tidak boleh seperti itu. Karena pola-pola seperti itu adalah pola-pola pembangunan dengan menyakiti bumi yang akan berdampak pada kerusakan bumi”, katanya.
“Ekonomi sirkular yang di maksud yaitu renew, reuse, reduce, recycle, refurbish. Pada intinya kita tidak perlu lagi mengambil, menggunakan, dan membuang. Pola-pola yang telah disebutkan tadi yang perlu dilakukan. Agar siklus ekosistem bumi dapat berjalan dengan baik”, ungkap Andriko.
“Membangun tanpa menyakiti bumi itu harus kita bunyikan terus. Pada saat kita mengeksploitasi secara berlebihan, atau pada saat membakar sampah itu juga bagian dari menyakiti bumi. Cara seperti itu harus kita kendalikan, sehingga bumi ini bisa berjalan seimbang antara flora, fauna, air, tanah, batuan atau manusia yang tinggal di dalamnya,”jelas Andriko.
Penjabat Gubernur juga mengatakan bahwa berdasarkan prediksi WMO (World Meteorological Organization) atau Organisasi Meteorologi Dunia, suhu bumi akan meningkat 3 derajat celcius pada tahun 2027-2028. Jika suhu bumi meningkat, maka proses dekomposisi berjalan lebih cepat, dan produksi makanan bisa saja terganggu, air akan cepat menguap, sehingga sumber air di permukaan akan semakin tipis.
“Jika tiba-tiba suhu bumi meningkat dan ancaman krisis pangan dunia yang akan terjadi seperti pasokan pangan dunia berhenti, dan produksi pangan kita tidak mencukupi. Hal ini menjadi perhatian juga peringatan bagi kita, ” tegasnya.
Sehingga jelas Andriko, untuk meminimalisir dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan Provinsi NTT pada dasarnya dapat dipilah berdasarkan otoritas pengelolaan kawasan hutan.
“Pada lingkup Provinsi Nusa Tenggara Timur telah diterbitkan Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur Nomor 173/KEP/HK/2023 Tanggal 26 April 2023 tentang Satuan Tugas Pengendalian Kebakaran Hutan Dan Lahan (Satgas Dalkarhutla) tingkat Provinsi Nusa Tenggara Timur yang melibatkan seluruh stakeholders dan juga masyarakat yang terbentuk dalam kelompok Masyarakat Peduli Api (MPA) di desa-desa yang berbatasan dengan kawasan hutan. Sedangkan pada hutan Konservasi Di Wilayah Kerja Balai Besar KSDA NTT telah diterbitkan Surat Keputusan Kepala Balai Besar KSDA NTT Nomor SK. 131/K.5/ BIDTEK/KUM.1/08/2023 Tanggal 4 Agustus 2023 tentang Perubahan Kesatu Keputusan Kepala Balai Besar KSDA NTT Nomor SK.72/K.5/ BIDTEK/ KUM.1/3/2021 tentang Pembentukan Regu Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan Dan Lahan (BRIDGAKARHUTLA) Balai Besar KSDA NTT,” urai Andriko
Andriko menekankan kembali upaya-upaya pengendalian yang dibutuhkan sehingga akar permasalahan budaya tebas bakar melalui perubahan sistem pengelolaan lahan, pelatihan keterampilan pengelolaan lahan dengan memanfaatkan biomassa dan juga alternatif lain seperti pemodalan dapat mengatasi permasalahan tersebut.
Untuk diketahui Luas Wilayah Provinsi NTT yaitu daratan sebesar 47.349,9 Km2 dan Perairan sebesar 200.000 Km2. Luas Kawasan Hutan Di Provinsi NTT Sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : 3911/ MENHUT-VII/ KUH /2014 Tanggal 14 Mei 2014 adalah seluas 1.784.751 Hektare (37 persen) dari Luas Daratan Provinsi NTT.
Dari luas kawasan hutan tersebut, yang dikelola oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTT melalui UPT KPH di Kabupaten seluas 1.268.050 ha dengan rincian hutan lindung seluas 684.403 ha (38,35 persen) dari luas kawasan hutan di Provinsi NTT, hutan produksi terbatas seluas 173,979 ha (9,75 persen) dari luas kawasan hutan di Provinsi NTT, hutan produksi tetap seluas 296.064 ha (16,59 persen) dari luas kawasan hutan di Provinsi NTT, hutan produksi konversi seluas 113.604 ha (6,37 persen) dari luas kawasan hutan di Provinsi NTT. Sementara itu, hutan konservasi yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Cq. Direkorat Jenderal KSDAE seluas 516.701 ha dengan rincian hutan konservasi daratan seluas 260.219 ha (14,58 persen) dari luas kawasan hutan di Provinsi NTT dan hutan konservasi perairan seluas 256.482 ha (14,37 persen) dari luas kawasan hutan di Provinsi NTT).
Turut hadir pula Irjen. Pol. (Purn.) Jhonny Siahaan, selaku Staf Khusus Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Tenaga Ahli Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan RI, Bidang Pengembangan Generasi Muda Dan Pramuka, Pramu Risanto, Kadis Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTT, Ondy Siagian, Kalaksa Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi NTT, Cornelis Wadu, Kepala BKSDA Provinsi NTT Arief Mahmud, para Anggota Tim Supervisi Dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan juga diikuti secara daring oleh Kepala BPBD Kabupaten/Kota se-NTT dan Kepala BKSDA se-NTT. ***