Suara-ntt.com, Kupang-Seminar Ekumene Tahun 2024 yang diadakan di Hotel Cahaya Bapa, Kupang pada Rabu, 18 Desember 2024 menghadirkan pembicara Pdt. Lintje H. Pellu dengan tema “Membangun Keluarga, Gereja, dan Masyarakat Kristiani: Tinjauan Antropologis, Feminist Kristen dalam Membangun Relasi Kehidupan yang Solid, Adil, Setara, dan Inklusif”.
Seminar ini mengupas berbagai isu mendasar terkait ketimpangan gender dalam konteks keluarga, gereja, dan masyarakat, serta peran teologi feminist Kristen dalam mengatasi ketidakadilan, kekerasan, pelecehan seksual, dan perdagangan manusia.
Pdt. Lintje memulai pemaparannya dengan menekankan bahwa kebaikan Tuhan bersifat universal, tidak diskriminatif, dan inklusif, sebagaimana tertulis dalam Mazmur 145. Prinsip ini menjadi landasan teologis untuk mengupayakan keadilan gender dan relasi yang saling menghormati. Ia mengacu pada pemikiran Margareth Farley (1985) mengenai principle of equality (prinsip kesetaraan) dan principle of mutuality (prinsip mutualitas) yang menegaskan hubungan manusia sebagai mitra yang setara dalam kebebasan dan otonomi.
Konstruksi Gender dan Tantangan Kultural
Dalam pembahasannya, Pdt. Lintje mengungkapkan bagaimana konstruksi gender yang timpang telah menciptakan relasi yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan analisis antropologis dari Sherry Ortner (1997), perempuan sering kali diasosiasikan dengan alam dan peran domestik, sementara laki-laki dikaitkan dengan budaya dan kepemimpinan.
Namun, ia juga menunjukkan bahwa dalam budaya lokal, seperti masyarakat Tanimbar dan Sumba Barat, terdapat konsep mutualitas dan komplementaritas yang dapat dijadikan dasar untuk membangun relasi yang lebih setara. Perspektif ini, menurutnya, memberikan peluang untuk merekonstruksi simbolisme budaya ke arah yang lebih inklusif.
Teologi Feminist Kristen sebagai Solusi
Pdt. Lintje menegaskan perlunya rekonstruksi teologi yang membebaskan, dengan memadukan perspektif feminist Kristen dan kearifan lokal. Teologi ini bertujuan mengatasi ketidakadilan, kekerasan, dan berbagai bentuk penindasan dengan pendekatan hermeneutics of suspicion (hermeneutik kecurigaan) yang diperkenalkan oleh Elisabeth Schüssler-Fiorenza.
“Gereja harus menjadi agen perubahan, membangun komunitas yang inklusif, adil, dan demokratis. Solidaritas Allah terhadap manusia harus menjadi teladan untuk menjangkau kelompok marginal, termasuk perempuan, kaum tertindas, dan orang-orang yang dianggap ‘asing’,” tegas Pdt. Lintje.
Komunitas Pemuridan yang Setara
Ia juga menyerukan gereja untuk menciptakan komunitas pemuridan yang setara (equal discipleship) yang didasari oleh solidaritas ilahi. “Allah telah memberikan Putra-Nya sebagai wujud solidaritas terhadap penderitaan manusia. Maka, gereja dipanggil untuk menjadi utusan Allah yang memproklamirkan kebaikan dan shalom-Nya demi masyarakat yang beradab, damai, dan demokratis,” lanjutnya.
Rekomendasi Transformasi
Seminar ini menghasilkan rekomendasi bagi gereja untuk terus berperan aktif dalam:
1. Menentang segala bentuk kekerasan dan diskriminasi gender.
2. Mengedukasi jemaat tentang kesetaraan gender dan hak asasi manusia.
3. Mengintegrasikan simbolisme teologi yang membebaskan dengan kearifan lokal.
Acara yang dihadiri oleh tokoh agama, akademisi, dan masyarakat umum ini diakhiri dengan doa bersama untuk mewujudkan komunitas Kristiani yang solid, adil, setara, dan inklusif. Seminar ini memberikan perspektif baru yang relevan bagi gereja dalam menghadapi tantangan kemajemukan dan ketimpangan di Indonesia. ***