Suara-ntt.com, Kupang-Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Eksekutif Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) menggelar kegiatan Pekan Lingkungan Hidup Rakyat NTT dengan tema “Bersolidaritas Melawan Dehumanisasi Menuju Keadilan Ekologi Di NTT”.
Kepala Divisi Kajian Hukum Lingkungan WALHI NTT, Umbu Tamu Ridi mengatakan, kegiatan hari ini menjadi momentum untuk mengajak seluruh masyarakat NTT untuk melawan dehumanisasi menuju keadilan ekologis.
Umbu Tamu Rudi mengungkapkan bahwa ada sekitar 41 kasus agraria antara rakyat dan pemerintah yang terjadi di NTT dan tersebar di pulau-pulau kecil maupun besar di seluruh NTT.
“Termasuk proyek-proyek strategis nasional seperti yang terjadi di Kolhua maupun Pubabu-Besipae. Kemudian ada 17 orang masyarakat sipil baik petani atau nelayan yang dikriminalisasi dengan dalil penganiayaan, pencemaran nama baik dan dalil penyerobotan,” ujarnya di halaman Kantor Gubernur NTT pada Sabtu, 4 Juni 2022.
Kemudian ada kasus lahan di Lambo maupun Labuan Bajo yang mekanisme pembangunan mengatasnamakan banyak orang tapi sebenarnya membunuh hak hidup masyarakat setempat.
Ia juga mengungkapkan bahwa ada 309 izin tambang yang tersebar di NTT, namun ada sekitar 55 persen yang tidak memenuhi aturan standar kelayakan lingkungan, seperti ada di daerah aliran sungai dan pemukiman warga.
“Sebaran tambang ada yang berada di luar kendali. Ada yang mengatasnamakan tambang rakyat namun pada pelaksanaan malah dikelola oleh sebuah koorporasi. Misalnya proyek Bendungan Manikin sudah berjalan 18 persen baru AMDAL nya terbit sehingga membuat puluhan rumah dan pekuburan adat ikut tergusur,” katanya.
Sementara Projects Manager ICCA GSI Yayasan PIKUL NTT Andry Ratumakin mengatakan bahwa kedaulatan pangan belum terjadi di Indonesia termasuk di NTT.
“Pangan lokal malah dilihat sebagai bahan pelengkap dan bukan bahan produktif untuk memajukan perekonomian masyarakat,” ujarnya.
Ia juga menyinggung tentang konsep pariwisata premium di Labuan Bajo.
“Perlu dilihat apakah konsep itu untuk masyarakat atau hanya untuk segelintir orang saja. Konsep pariwisata di sana merupakan by design sejak era Soeharto. Penurunan status wilayah Komodo dari daerah hutan lindung menjadi daerah pariwisata merupakan sudah disetting untuk membangun infrastruktur skala besar untuk meraup keuntungan yang banyak,” katanya.
Ia juga menambahkan bahwa Hal ini tentu berdampak secara langsung bagi pariwisata di Labuan Bajo tidak serta merta mendatangkan manfaat untuk petani lokal.
“Karena hasil pertaniannya tidak mungkin laku terjual di sana, sebab kebanyakan hasil pertanian masih didatangkan dari luar seperti NTB,” ujarnya.
Sedangkan Aktivis Kemanusiaan Kota Kupang Pdt. Emmy Sahertian mengatakan bahwa kehadiran konsep pariwisata premium di Labuan Bajo turut berdampak bagi kalangan perempuan.
“Saya agak alergi mendengarnya. Sebab, dengan kehadiran wisata di sana banyak kalangan perempuan, terutama anak-anak di bawah umur dari Jawa Barat didatangkan untuk bekerja sebagai pelayan minuman dan pekerja seks,” katanya.
Ia juga menegaskan bahwa metode pendekatan ekonomi di NTT memakai analogi ‘gelas champagne’.
“Artinya, masyarakat kecil dijadikan korban untuk memenuhi kepentingan para petinggi pemerintahan dan juga kepentingan koorporasi,” ujarnya.
Selain itu WALHI NTT akan melaksanakan sejumlah kegiatan sebagai bentuk peringatan hari lingkungan hidup.
Sebagai bentuk peringatan hari lingkungan hidup sedunia, WALHI NTT melakukan serangkaian kegiatan di alun-alun kantor gubernur diantaranya:
1. Mimbar Bebas (Orasi lingkungan hidup dan pelanggaran Hak Asasi Manusia)
2. Diskusi dengan tema Agraria dan Hak Asasi Manusia (HAM)
3. Pameran produk komunitas
4. Pemutaran film dan live Akustik
Rangkaian kegiatan di atas adalah kesempatan memperingatkan publik terkait berbagai akumulasi krisis yang terus terjadi di Nusa Tenggara Timur, sekaligus sebagai momentum ajakan bersolidaritas agar isu lingkungan menjadi isu publik. WALHI NTT terbuka pada semua pihak yang ingin bersolidaritas dalam kegiatan-kegiatan dimaksud. (HT)