Warga Desa Lelobatan Kini Rasakan Manfaat dari Rehabilitasi Kawasan Hutan Mutis Timau

oleh -370 Dilihat

Suara-ntt com, Soe-Warga Desa Lelobatan, Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) Nusa Tenggara Timur kini merasakan manfaat dari rehabilitasi kawasan hutan lindung Mutis Timau.

Pada tahun 2019 lalu, Balai Pengelolaan Aliran Sungai (BPDAS) Benain Noelmina NTT bersama Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelolaan Hutan (UPT KPH) Kabupaten TTS merehabilitasi kawasan hutan lindung seluas 127 Hektare (Ha).

Walau sebelumnya mendapat penolakan warga, namun akhirnya warga merasakan manfaat dari kegiatan Rehabilitasi Hutan Lindung (RHL) itu.

Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Oenupo, Ekslopas Kase mengatakan, bersama 65 anggotanya atau 30 kepala keluarga (KK) yang tergabung dalam kelompok tani menerima kegiatan RHL dari BPDAS Benain Noelmina bersama Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelolaan Hutan yang selanjutnya (UPT KPH) Kabupaten TTS untuk melakukan rehabilitasi di lahan tersebut.

“Saya berpikir saya salah. Karena pemerintah buat hutan ini agar kami tidak akan alami kekeringan, karena sumber air sekarang sudah tersedia,” kata Eklopas kepada wartawan pada Rabu, 9 Agustus 2023.

Dikatakan, kawasan hutan Mutis Timau sejak dulu digunakan warga sekitar untuk beternak hewan dan ritual adat di perbukitan.

“Lokasi ini dulu sering digunakan untuk beternak sapi. Saya juga sempat menolak. Namun setelah mendapat penjelasan, maka saya bergabung dengan program RHL ini,” jelasnya.

Kegiatan rehabilitasi diatas lahan seluas 75 ha di Desa Lelobatan itu ditanami sebanyak 625 pohon/ha, diantara kasuari, kemiri, ampupu dan lainnya yang telah tumbuh dengan jarak tanam 4×6 meter, sehingga terdapat celah disetiap pohonnya yang dimanfaatkan masyarakat untuk menanam tanaman musiman, seperti ubi jalar, ubi ungu, ubi bogor, pisang dan lainnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Eklopas mengaku kelompoknya diminta untuk merawat dan mengawasi kawasan hutan lindung yang telah direhabilitasi dengan menanam tanaman musiman. Sejak 2020 lalu, atau sekitar 3 tahun, kelompoknya telah menanam tanaman musiman itu dengan sekali panen bisa menghasilkan jutaan rupiah.

“Setiap minggu kami panen dan dijual Rp150 ribu perkarung, bisa capai 5-6 karung per minggunya. Biasanya hasilnya kami jual ke Pasar Kapan dan Eban, atau diambil pengepul di lahan ini. Kami bersyukur karena kami tidak kelaparan lagi dengan mengelola lahan ini,” ujarnya.

Sebelumnya diakuinya mereka hanya bergantung pada ternak mereka yang digembalakan di lahan ini. Namun sekarang sudah dimanfaatkan untuk tanaman dan sudah dinikmati hasilnya. Tanaman umur pendek yang ditanam itu didapat dari Dinas Pertanian Kabupaten TTS.

Kepala Seksi Perlindungan KSDAE dan Pemberdayaan Masyarakat UPT KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Kabupaten TTS, Samuel Boru mengatakan program RHL di Kabupaten TTS dilakukan diatas lahan seluas 725 Ha yang tersebar di sejumlah desa, seperti Oeuban 295 ha, Fatukoto 50 ha, Ajaobaki 50 ha, Lelobatan A 50 ha, dan B 175 ha. “Areal ini terbagi dalam 2 lokasi perbatasan yang ditanami 625 pohon/ha,” jelasnya.

Menurut dia, pihaknya mengijinkan masyarakat yang menjaga dan merawat kawasan hutan lindung ini untuk menanam tanamam musiman guna pemberdayaan masyarakat setempat.

“Hasilnya cukup memuaskan, dimana pendapatannya dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga. Mereka komitmen untuk menjaga lahan ini, memelihara dan menanam tanaman yang mati,” katanya.

Dia mengaku bahwa tanaman pohon kasuari atau cemara tumbuh dengan baik sementara ampupu dan kemiri pertumbuhannya tidak sebaik cemara.

Kepala BPDAS Benain Noelmina NTT, Dolfus Tuames mengatakan kegiatan RHL sempat ditentang dan ditolak masyarakat dengan berbagai macam alasan. Salah satu satunya, lahan ini milik nenek moyang dan lokasi penggembalaan ternak milik masyarakat.

“Padahal lahan ini masuk dalam kawasan hutan Mutis- Timau yang dikelola KPH TTS,” jelasnya.

Walaupun mendapat penolakan, namun BPDAS Benain Noelmina bersama KPH TTS tetap melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pengelolaan kawasan hutan lindung ini.

“Penolakan oleh masyarakat, namun kami tetap lakukan pendekatan dan dialog. Kita berikan penyadaran akan nilai penting, seperti aspek ekonomi sosial, ekologi. Kami terus berdiskusi dengan masyarakat di sekitar lokasi ini, sehingga mereka terlibat aktif,” jelasnya.

Pola tanam yang digunakan pada program RHL ini dengan sistem jalur, sehingga lahan sisa bisa dimanfaatkan masyarakat untuk tanaman semusim. “Kisaran Rp300 ribu hingga jutaan yang didapat masyarakat. Ini dipengaruhi kualitas komoditi yang mereka jual,” katanya.

Komoditi yang dikembangkan di kawasan hutan ini, antara lain ubi jalar, kentang, wortel, kacang merah, bawang, pisang dan lainnya. “Kita juga berikan insentif dengan berikan bantuan berupa jeruk, dan jambu kristal,” jelasnya.

Pada 2023 ini juga, lanjut dia, BPDAS Benain Noelmina juga masukan program Usaha Pelestarian Sumber Daya Alam (UPSA), sehingga lokasi di Lelobatan ini bisa dijadikan daerah percontohan bagi daerah yang hendak melakukan konvervasi.

Menurut dia, konservasi penting dilakukan karena kondisi iklim NTT. Dimana musim hujan sangat sedikit hanya 4 bulan, dan kemarau panjang. “Ini sebagai bukti luar biasa, sehingga semua hal dari fakfor pembatas dapat dimanej dengan baik, bisa manfaatkan untuk hasilkan benefid,” jelasnya.

Ada pun, kata dia, faktor yang mengancam rehabilitasi, seperti melakukan pengembalaan liar dan tebas bakar dalam upaya pengelolaan lahan. “Ini faktor yang mengancam rehabilitasi hutan di NTT,” katanya.

Namun dia mengaku pihaknya terus lakukan koordinasi dengan Pemda Provinsi dan Kabupaten kota, intinya untuk perbaikan lingkungan melalui kerja kolaboratif, program kegiatan hingga peran para pihak.

“Kita juga lakukan pendekatan dengan tokoh agama, dan tokoh masyarakat, karena mereka didengar oleh masyarakat. Upaya yang dilakukan agar kira harus mendapat frekuesi berpikir yang sama, otormatis kita akan punya derap langkah yang sama. Sehingga upaya rehabilitasi hutan dan lahan, sudah dipahami semua pihak, bahwa hutan kita jaga sama-sama,” ujarnya.

Mengelola DAS, jelasnya, sama dengan mengelola landscap atau bentang lahan. Sehingga melewati batas administratif, provinsi, kabupaten dan lainnya. “Ketersediaan air secara terus menerus, sehingga pohon harus dijaga. Oksigen yang kita hirup secara gratis. Jadi jangan lelah tanam pohon, karena pohon bisa munculkan sumber mata air dimana pun,” pungkasnya. (HT)