Oleh : Valerius P. Guru (Kasubag Kepegawaian dan Umum Badan Pengelola Perbatasan NTT)
Suara-ntt.com, Kupang-TATKALA artikelku yang berjudul Reformasi Birokrasi versus Pejabat Korup di NTT pekan lalu terpublikasi di sejumlah media massa pers khususnya media online; ada beragam komentar dan tanggapan yang bermunculan. Ada pro dan ada kontra setelah mereka membaca dan atau mendengar cerita setelah membaca artikel itu. Bahkan ada pejabat yang terkesan begitu sangat arogan langsung menelpon Kepala Badan Pengelola Perbatasan Provinsi NTT agar sang penulis artikel tersebut segera membuat permohonan maaf secara terbuka ke publik; karena tulisan tersebut dinilai atau dianggap telah berdampak terhadap hukum yakni mengandung unsur fitnah, pencemaran nama baik dan aneka tuduhan lainnya. Saya pun diancam untuk nonjob atau kena mutasi (macam mereka penguasa besar di daerah ini). Selanjutnya para pejabat yang disinggung di dalam artikel tersebut kabarnya telah melaporkan masalah ini ke aparat kepolisian hingga Bareskrim Mabes Polri. Aduh…!
Dalam ilmu jurnalistik dikatakan bahwa sebuah tulisan apakah itu berita, feature, opini dan lain sebagainya; setelah dipublish maka naskah tersebut (telah) menjadi milik publik. Bukan lagi menjadi milik sang penulis. Karena itu, sangat wajar dan dapat dimaklumi jika ada aneka komentar dari publik jika ada naskah tulisan yang (tentu) mengganggu kedok kepentingan dan konspirasi pihak-pihak utamanya para pejabat yang disinggung di dalam tulisan tersebut.
Tak apa. Itulah seni dalam dunia tulis menulis. Yang utama dan terpenting; yang harus dipegang teguh oleh sang penulis adalah apa yang diwartakan atau diberitakan itu adalah fakta dan bukan fiksi apalagi fitnahan murahan yang hanya mengusik ketenangan dan kenyamanan hidup sang pejabat yang arogan itu.
Saya jadi teringat istilah whistleblower. Ada sejumlah literatur yang memberi pengertian bahwa whistleblower adalah pelapor atau pengungkap fakta yang tidak terlibat dalam kejahatan yang ia laporkan (bukan termasuk pelaku). Sementara itu, menurut Mardjono Reksodiputro, arti whistleblower adalah orang yang membocoran rahasia atau pengadu.
Di dalam peraturan perundang-undangan, definisi whistleblower juga tertuang di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011. Aturan ini menyebut whistleblower sebagai pelapor tindak pidana. Menurut SEMA tersebut, whistleblower adalah pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Tindak pidana tertentu yang dimaksud seperti korupsi, terorisme, narkotika, pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana terorganisir yang lain. Floriano C. Roa menyebut, ada dua jenis pelaporan yang dapat dilakukan whistleblower, yakni: pelaporan dalam lingkup internal: pelaporan yang disampaikan langsung kepada atasan yang ada di dalam ruang lingkup yang sama dengannya; dan pelaporan dalam lingkup eksternal: pelaporan yang disampaikan kepada individu, badan pengawas, atau pihak eksternal lain terkait kegiatan ilegal atau immoral dalam perusahaan atau instansinya.
Sesungguhnya istilah dan makna whistleblower sama dengan istilah “orang dalam”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti orang dalam adalah orang yang berada di dalam lingkungan (pekerjaan, golongan, dan sebagainya). Istilah orang dalam seringkali kita dengar dengan konotasi negatif di dalam melamar pekerjaan. Pelamar yang mempunyai keahlian dan kemampuan seringkali dikalahkan oleh pelamar yang memiliki orang dalam. Jelas, praktek ini membuat banyak pelamar kerja yang tidak punya orang dalam menjadi frustasi karena dianggap tidak adil. Orang dalam yang dimaksud adalah orang atau pihak yang ada dalam perusahaan atau instansi yang dapat membantu seseorang untuk diterima bekerja karena adanya hubungan kekerabatan, pertemanan, bisnis, kelembagaan, dan sebagainya.
Peran orang dalam adalah melakukan pengurusan yang berkaitan dengan posisi atau yang dimilikinya, demi kepentingan orang yang menjadi rekannya tersebut. Dengan adanya peran orang dalam, bisa dipastikan kompetisi mengisi lowongan di dalam pekerjaan tersebut akan dimenangkan oleh pelamar yang memiliki koneksi orang dalam.
Stigma negatif orang dalam berubah menjadi peran penting ketika di posisi sebagai whistleblower dalam upaya pembuktian suatu kasus. Seorang whistleblower merupakan orang dalam, yaitu orang yang mengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di tempatnya bekerja atau ia berada. Banyak praktek kejahatan sangat terorganisir dan sangat rapi dijalankan. Setiap orang yang terlibat memiliki peran yang berbeda namun terorganisir.
Seorang whistleblower benar-benar mengetahui dugaan suatu pelanggaran atau kejahatan karena berada atau bekerja dalam suatu kelompok orang terorganisir yang diduga melakukan kejahatan, di perusahaan, institusi publik, atau institusi pemerintah. Selain itu whistleblower juga terkadang adalah saksi langsung namun tidak terlibat dalam kejahatan tersebut. Hal ini disebabkan karena perbuatan kejahatan terkadang sudah menjadi hal yang biasa di lingkungan organisasi tersebut. Malah orang yang tidak ikut dalam kegiatan tersebut dianggap berbeda dari yang lain.
Hak-hak whistleblower yang juga seorang saksi (pelapor) telah diatur dalam Undang Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pasal 5 Undang-Undang tersebut menyatakan seorang saksi dan korban berhak untuk : 1). memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; 2). ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; 3). memberikan keterangan tanpa tekanan; 4). mendapat penerjemah; 5). bebas dari pertanyaan yang menjerat; 6). mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; 7). mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; 8). mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; 9). mendapat identitas baru; 10). mendapatkan tempat kediaman baru; 11). memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; 12). mendapat nasihat hukum; dan/atau 13). memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
Lalu muncul pertanyaan sederhana yakni sampai dimana reaksi dan respons Penjabat Gubernur NTT ? Pekan lalu ada tim khsusus yang telah dikirim oleh Penjabat Gubernur NTT bertemu di kantor dengan Kepala Badan Pengelola Perbatasan Provinsi NTT untuk mengecek dan memastikan kebenaran fakta sebagaimana yang ditulis dalam opini tersebut. Selain itu, Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi NTT dan Inspektorat Daerah Provinsi NTT juga telah mendapatkan disposisi untuk “memeriksa” kebenaran fakta yang diungkap yakni tentang penjatuhan sanksi penurunan pangkat dan fakta lainnya. Semoga hasil pemeriksaan tersebut bisa segera diungkap.
Vilfredo Pareto sosiolog berkebangsaan Italia pernah berkata,”perilaku manusia kadang-kadang perlu ditelanjangi, agar ia dapat menemukan yang sejati padanya.” Pareto memang tampak “latah” dengan berkata seperti itu. Tetapi itulah keberanian yang ia tunjukan. Ia ingin agar orang “tahu diri” bahwa kesejatian diri kadang-kadang hilang karena kemunafikan, ketidakjujuran, keculasan, kepura-puraan, yang bertujuan mendapatkan sesuatu yang diinginkan.
Pareto memang tidak mengada-ada. Ia serius berbicara tentang pentingnya kesejatian hidup. Hanya pribadi sejati (termasuk para pejabat di NTT) yang dapat menikmati hidup ini sebagai anugerah dan dari berkat dari Sang Mahakuasa. Dalam nada yang hampir sama, salah seorang staf di kantor mengirimkan pesan whatsapp yang berbunyi :”jika ketakutan sudah menenggelamkan kejujuran maka kebohongan pun akan merajalela. Ketika keberanian telah lenyap maka kebohongan akan melenggang-kangkung sebagai sesuatu yang benar.”
Sampai di tikungan ini hanya ada satu kata LAWAN ! Karena masyarakat dan daerah ini tidak membutuhkan mentalitas pejabat yang sok arogan, rasa diri bersih, sok berkuasa, sok pakai ancam hanya untuk melanggengkan kuasa dan jabatan yang dititipkan di pangkuannya. Jabatan itu tidak abadi bos…! Ingat itu. (*)